PD25: Dari Balik Dinding

26 9 3
                                    

“Kumpulkan PR kalian!”

Putra segera menarik keluar tas yang di simpan di laci bawah mejanya. Tertarik tasnya, secarik kertas jatuh, tertarik. Putra memungut kertas yang ia yakini bukan miliknya. Lipatan kertas itu dibukanya. Ternyata, ada sebuah pesan. Putra membaca pesan itu,

Datanglah ke halaman belakang sekolah setelah kelas selesai, Putra!!!

“Mana buku PR-mu, Tra?” tagih Ferid yang hendak mengumpulkan buku PR-nya.

Putra meremas kertas itu, melemparnya ke dalam laci. Ia lalu mengambil dua buah buku dan alat tulis. Salah satu buku diserahkannya kepada Ferid yang langsung berjalan ke meja guru. Rasanya, Putra tahu sekali dari siapa surat itu berasal. Mudah sekali menebaknya sesudah apa yang terjadi di perpustakaan. Riki jelas belum selesai dengannya.

“Gue perhatiin sejak istirahat pertama, wajah lu kusut banget, Tra. Kenapa sih?” ujar Alam dengan suara pelan.

“Gak apa-apa,” balas Putra tanpa mengalihkan wajahnya dari papan tulis.

“Lu kenapa?” Alam ngotot.

Putra tak langsung menjawab. Ia baru sadar telah menampilkan ekspresi seperti itu sepanjang jam pelajaran ketiga hingga sekarang. Putra telah lupa bersikap normal. Mungkin karena marah sekali mendengar ayahnya dihina.

“Lu akan tahu sendiri jawabannya.”

“Gimana mungkin?” Alam menoleh, mengerutkan dahinya.

Putra tersenyum melihat ekspresi Alam. “Berhenti ngajak gue ngobrol sebelum kita dilempar penghapus.”

Alam menurut saja. Pandangannya diarahkan lagi ke papan tulis yang kini setengah penuh. Penasaran menjadi hal yang sangat biasa semenjak ia berteman dengan Putra. Karena itu, hingga jam pelajaran terakhir selesai, Alam tidak membahas pertanyaannya lagi.

“Masih betah di kelas lu, Tra?” Alam menanggapi Putra yang seakan enggan bangkit dari kursinya, sementara ia akan segera beranjak.

Sembari bangkit, Putra memasukkan kertas yang sudah tak berbentuk ke dalam sakunya. “Mau ke perpus dulu gue.”

Alam percaya saja mendengar alasan Putra. Ia langsung bergabung dengan Ferid dan Dana yang menunggunya di teras.

Putra berjalan di belakang Alam. Demi meyakinkan alasannya, Putra mengambil arah ke perpustakaan. Setibanya di depan perpustakaan, Putra berhenti. Ia ragu akan memenuhi pesan itu atau tidak. Tidak penting. Tapi, pertemuan itu pasti akan terjadi walaupun Putra tidak mengindahkannya hari ini. Entah kapan.

“Putra!”

Putra hendak berbalik dari pintu perpustakaan ketika Nata memanggilnya. Putra diam di tempat, membiarkan Nata menghampirinya.

Sorry, gue harus denger semuanya tadi.”

Putra mengangguk. “Cepat atau lambat juga lu bakal tahu.”

“Gue gak enak tahu dengan cara gitu. Lu gak apa-apa, kan?”

Putra sejenak mengalihkan pandangan, melihat arus siswa yang bergerak menuju gerbang. Di seberang sana, duduk di teras, ia mendapati dua orang tengah mengawasinya. Ia kenali mereka sebagai teman baik Riki, tapi Riki tidak bersama mereka.

“Gue udah biasa, Nat.” Putra mengembalikan fokusnya pada Nata. “Lu mending balik. Siapa tahu jemputan lu udah nunggu.”

“Gue liat Riki ke kelas pas jam istirahat kedua.”

“Terus?” Putra pura-pura tidak tahu.

“Lu belum pulang bukan karena Riki, kan?”

Putra menggeleng, berusaha menyrasikan air mukanya dengan penyangkalan yang ia lakukan. “Gue mau balikin buku doang. Udah, lu buruan balik gih!”

Puisi DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang