3. Mas Pacar

276 23 13
                                    

Dan akhirnya, selalu ada batas untuk setiap perjalanan. Selalu ada kata selesai untuk setiap yang dimulai.
—Sylvia Ivy Vianly.

***

Raka sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, pagi ini ia berniat untuk menghampiri Ivy tanpa persetujuan dan tanpa pengetahuan gadis itu. Seratus persen Raka yakin kalau gadis itu masih tidur pulas di kamarnya, mungkin sedang mimpi panjang sampai tak ada habisnya. Bagaimana Raka bisa seyakin itu? Pasalnya Ivy semalam video call sampai jam tiga dini hari dengan Raka. Raka yang ketiduran terlebih dahulu karena tidak pernah belajar dan terlalu lelah pun berbanding terbalik dengan gadis yang notabenenya adalah tambatan hatinya. Walaupun lelah seperti apapun, yang namanya Ivy selalu begadang. Yang namanya Ivy selalu tertidur pagi hari. Ditambah hari ini adalah hari libur pasca lulus dari gelar dokter, Ivy pasti sudah tidur dengan nyenyak karena tidak perlu memikirkan ujian lagi.

Jam menunjukkan pukul delapan pagi, masih terlalu pagi memang. Tapi tak masalah, Raka ingin membuat kejutan kecil-kecilan untuk Ivy. Pria yang berusia dua puluh empat tahun itu memberhentikan mobilnya di depan toko kue dan membelikan kue coklat untuk kekasihnya. Tidak ada acara spesial memang, karena kenyataannya acara spesial jatuh pada hari kemarin. Hari ini Raka hanya ingin membawakan coklat sebagai tanda syukur ia dan kekasihnya telah official menjadi dokter. Sudah itu saja, tak ada yang lebih.

Setelah lima belas menit lamanya mencari kue coklat yang disukai Ivy, Raka kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata lagi, melaju ke arah rumah Ivy.

***

Ivy masih tertidur dengan nyenyak, wajahnya yang terlihat sangat damai dikelilingi oleh boneka besar kesukaannya. Laptop yang ada di sebelah gadis itu masih menyala dan masih memperlihatkan film, dapat dipastikan bahwa Ivy ketiduran.

"Good morning, Babe!" sapa Raka sambil menepuk pipi gadisnya itu. Ia mengecup singkat pipi Ivy saat sang empu sama sekali tidak memunculkan tanda-tanda bangun.

"Sayang!" panggil lembut Raka sambil berjalan menuju gorden kamar Ivy, ia langsung membuka gorden tersebut sehingga mempersilakan sinar matahari masuk ke dalam kamar, dan Ivy berhasil membuka matanya.

"Loh, Raka? Kamu ngapain di sini?" tanya Ivy penuh nada terkejut sambil mengucek matanya perlahan, ia mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu.

"Kasih kamu kejutan, aku bawain kamu kue coklat di nakas." Perkataan Raka langsung membuat Ivy menoleh ke nakas, ia tersenyum manis saat melihat sang pacar sangat perhatian sekali.

"Dalam rangka apa nih kamu bawa kayak gini? Makasih sebelumnya, Sayang."

Raka menautkan kedua alisnya. Ia menggeleng pelan, tak maksud dengan pertanyaan sang kekasih. "Enggak dalam rangka apapun. Kan hari spesialnya kemarin, bukan hari ini. Sebagai ucapan syukur aja akhirnya kita udah resmi jadi dokter. Kamu kerja di rumah sakit keluargamu sendiri, kan?" tanya pria dengan kaos abu-abu polos memastikan. Pria itu merebahkan tubuhnya di kasur Ivy membuat Ivy mendecak sebal. Ivy paling benci saat ada seseorang yang menduduki kasurnya.

Ivy menarik laptopnya, laptop yang menemaninya selama kuliah di jurusan kedokteran. Laptop yang selama ini menjadi saksi bisu bagaimana lelahnya skripsi, bagaimana lelahnya ambis buat kejar ujian, laptop yang menemaninya selama menjadi dokter muda dan banyak lagi lainnya. Intinya, laptop itu adalah laptop kesayangannya. Mengingat bahwa Ivy semalam tertidur karena sedang menonton film, ia langsung mematikan film tersebut dan mematikan laptopnya.

Setelah selesai dengan laptop, Ivy langsung melipat selimutnya, ia menurunkan suhu air conditioner, rutinitas di pagi hari. "Kamu kalau mau tidur di sofa kek, aku paling gak suka ya kalau kamu tidur di kasurku," tegur Ivy sinis. Bukannya ia jijik ataupun apa, tetapi ia memang tak suka saja saat kasurnya disinggahi oleh seseorang, siapapun itu.

Melihat muka Raka yang tidak peduli membuat Ivy berdecak sebal. Ia langsung memotong kue coklat yang Raka bawa untuk sarapan, daripada menegur kekasihnya terus-menerus padahal kekasihnya malah enak-enakan tidur tanpa merespon apapun, berbusa mulut Ivy yang ada.

"Kamu kerja di rumah sakit keluarga kan, Vy?" tanya ulang Raka dengan posisi mata yang masih tertutup.

Ivy mengambil napasnya perlahan. "Iya, kenapa?" sahutnya kesal.

"Baguslah, supaya aku sama kamu bisa satu kerjaan. Aku kerja di rumah sakit keluarga kamu juga soalnya," sambung pria itu. "Kakek minta aku jagain kamu, takutnya kamu ntar macem-macem."

Ivy melotot, menatap sinis dan tajam ke arah kekasihnya. "Sembarangan! Apanya yang macem-macem, kamu yang macem-macem kali, gak ada sejarahnya Ivy macem-macem, ya."

"Iyain deh," respon Raka menyebalkan. "Nanti malem kita dinner, yuk? Hari jadi hubungan kita yang ke sembilan tahun masa gak dirayain, harusnya dirayain dong. Kamu pakai gaun yang udah aku beli ya, tadi aku kasih ke mamah."

Ivy menatap heran kepada Raka. Memang tak heran jika Raka mengajaknya makan malam berdua, tapi Raka sama sekali tidak pernah memikirkan gaun apa yang nantinya Ivy pakai. Apalagi sampai menitipkan ke Vanya, aneh sekali. For your information, Raka memang sudah memanggil Vanya dan Vero sama seperti Ivy, mamah dan papah. Begitu juga dengan Ivy, ia memanggil orang tua Raka dengan sebutan mamah dan papah juga. Hubungan sembilan tahun itu bukan hubungan yang singkat, banyak proses di dalamnya.

Berusaha untuk berpositif thinking, mungkin saja Raka ingin anniversary yang ke sembilan ini diadakan romantis sehingga Raka membelikan gaun yang indah untuk Ivy. Tak apa, tak masalah.

"Goals apa yang kamu inginkan di tahun ini?" tanya Raka tiba-tiba, bahkan pria itu langsung bangkit dari tidurnya dan duduk, menggenggam tangan Ivy yang masih belepotan coklat.

Ivy yang terkejut pun langsung memberikan kode tak maksud. "Goals apa? Gak ada goals apapun, aku cuma pengen lulus dan jadi dokter, udah sih itu aja," celetuk Ivy jujur.

"Gak ada target apapun? Menurut kamu usia dua puluh empat tahun itu usia seperti apa? Gak ada keinginan lagi yang mau kamu capai di usia ini?" Kembali menanyakan pertanyaan yang sama, seolah Raka ingin mengetahui keinginan Ivy.

"Gak ada. Aku lagi enjoy dalam hidupku. Aku lagi menikmati masa mudaku. Yang aku harapkan cuma lulus jadi dokter sih, udah itu aja. Gak ada keinginan lainnya lagi. Kenapa emangnya?"

Memang ya, perempuan yang satu spesies seperti Ivy itu susah sekali peka. Atau mungkin gadis itu terlalu simpel, entahlah. Raka bahkan tidak tahu pemikiran kekasihnya itu. "Beneran gak ada target apapun?" tanya ulang Raka yang entah sudah berapa kali. "Target menikah kamu umur berapa?" sambungnya.

"Gak ada target, usia kita masih muda, Raka. Aku ikut kamu sih, kan kamu yang cowoknya. Emang kamu mau ajak aku nikah sekarang? Kamu udah siap? Kalau kamu siap, aku siap juga sih."

***

Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang baca cerita ini!

Yuhu janjiku akhirnya ditepati juga:( Terima kasih banyak support-nya, ya💖

Kita ketemu lusa atau besok ya, semoga secepatnya.

See you!

Xoxo,

Luthfi Septihana🌹

Dokter VS AkuntanWhere stories live. Discover now