24. Hamil?

84 6 0
                                    

Teruntuk diriku sendiri, tak apa bila besok pagi masih terbangun dari sesaknya patah hati. Tak apa jika masih merasa dunia kejam sekali. Tapi, jangan pernah menyerah, ya. Kalau waktunya sudah harus mengikhlaskan, ya harus diikhlaskan.

—Sylvia Ivy Vianly.

***

"Ivy, Ayra sakit!" teriak Yumna dari depan pintu yang langsung menyambut Ivy dengan perkataan demikian, jelasnya Ivy pun langsung panik dibuatnya.

"Astaga, Ayra! Dia sakit apa?" tanya Ivy dengan nada terengah-engah, mereka berdua pun langsung saja lari masuk ke dalam, menghampiri kamar di mana Ayra sedang berada.

"Bilang kalau hasil yang papah periksa ini gak benar, Ayra." Abdi mengatakan dengan penuh tekanan, sorot matanya yang tajam seolah menyiratkan ada kekecewaan tersendiri. Jelas Ivy dan Yumna semakin kaget kala mereka berdua berdiri di depan pintu kamar Ayra, mereka mendapatkan hawa sedingin ini.

Beberapa detik hening, Ayra sama sekali tak menjawab apa yang Abdi tanyakan, padahal seluruh keluarga sudah menanti-nanti jawaban atas apa yang mereka berdua—Ayra dan Abdi sembunyikan.

"JAWAB PAPAH, AYRA!" sentak Abdi yang langsung membuat Ayra mulai menitikkan air matanya, tangannya bergetar hebat, tak tahu harus bagaimana. Pun kendatinya hal ini sudah ia prediksi sedari awal jika cepat atau lambat hari ini akan tiba.

"Ada apa, Mas? Ayra sebenarnya kenapa?" tanya Nav yang tak tega dengan anaknya. Nalurinya seorang ibu pasti berjalan saat melihat anaknya ketakutan seperti ini. Nalurinya seorang ibu pasti khawatir jika anaknya sakit seperti ini.

"Ada apa, Abdi? Cepat katakan yang terjadi!" pinta Darka dengan penuh penekanan di setiap katanya. "Apa yang terjadi dengan Ayra?" lanjutnya semakin mengintimidasi.

"Tanya aja sama Ayra," jawab Abdi sembari menghentakkan tubuhnya ke sofa, tangannya langsung bergerak mengacak rambut pria tersebut dengan frustrasi. Jujur saja, Abdi benar-benar tak mengerti dengan keadaannya saat ini.

"Ada apa, Ayra? Kenapa ini?" tanya Nav dengan panik karena dirinya sama sekali belum mendapatkan jawaban sedari tadi.

"Ayra, apa yang te—"

"Aku hamil, Mah! Aku hamil!" Merasa didesak terus-menerus, Ayra pun langsung angkat bicara. Gadis itu menangis tersedu-sedu mengatakan suatu fakta yang jujur saja selalu ia tutupi belakangan ini.

Jantung seluruh keluarga pun langsung berdegup kencang saat mendengar pengakuan dari Ayra, napasnya tersengal seolah oksigen di ruangan itu hanya tersisa sedikit saja.

PLAK!!!

Dengan penuh emosi dan perasaan yang masih tak bisa menerima fakta, Nav langsung menampar putri semata wayangnya. Matanya melotot tajam, napasnya memburu dengan air mata yang sudah tak dapat terbendung lagi. "Kamu pasti berbohong kan, Ayra? Mamah sama papah gak pernah ngajarin kamu kayak gini! Ini pasti gak mungkin terjadi, kamu aja gak punya pacar!"

"Ayra beneran hamil, Mah. Itu faktanya." Menghapus semua air mata Ayra yang sudah tak dapat terbendung, jujur saja di dalam lubuh hati Ayra yang paling dalam, dia merasa kecewa juga dengan dirinya sendiri. Dia merasa kecewa juga dengan semua hal yang terjadi. "Ayra hamil, Mah, Pah. Ayra berusaha menutupi ini semua. Ayra bingung harus kasih tau kalian kagak gimana, itu fakta yang terjadi."

"Siapa ayah dari anak itu?" Walaupun dirinya masih berusaha menerima kenyataan jika salah satu cucu kesayangannya hamil di luar nikah, Darka tetap harus bersikap tegas. Darka tetap harus mendapatkan kejelasan tentang permasalahan yang terjadi saat ini. "Dia gak mau tanggung jawab? Brengsek sekali dia," umpatnya penuh dengan emosi. Bahkan tongkat yang sedari tadi ia gunakan untuk menjadi tumpuannya berdiri turut ia banting begitu saja, meluapkan amarahnya.

"Buat apa kalian semua tau siapa ayahnya? Ayra gak mau kalian semua tau! Ayra gak mau ada hubungan sama cowok itu. Ayra bisa ngurus anak ini sendirian kok," jelas Ayra dengan emosi yang meledak-ledak, ternyata masih banyak sekali yang disembunyikan dari gadis tersebut. Nyatanya diamnya Ayra selama ini mengandung banyak sekali arti. Nyatanya diamnya seorang Ayra selama ini menyimpan semua rahasia yang bahkan tidak bisa ditebak oleh siapa pun.

"Siapa ayah dari bayi tersebut, Ayra? Kamu pikir membesarkan anak sendirian itu hal yang mudah? Mamah sama papah, kita berdua aja besarin kamu susahnya minta ampun, nyatanya sekarang apa? Kita berdua gagal besarin kamu, Ayra! Nyatanya sekarang kamu melanggar norma! Kamu hamil di luar nikah! Kita gagal jadi orang tua," jelas Nav penuh dengan kekecewaan.

Jelas saja sebagai seorang ibu Nav kecewa dengan putri semata wayangnya. Putri yang ia harapkan bisa menjadi yang terbaik, namun nyatanya saat ini putri yang ia rawat dengan baik masih saja mengecewakan. Putri yang nyatanya menyimpan banyak misteri, yang bahkan tak bisa tertebak sama sekali.

"Siapa cowok itu, Ra? Kamu harus jujur ke kita." Tifanya yang sedari tadi hanya diam pun saat ini ikut bersuara, mengambil alih semua peranan. Jujur saja, jika ditanya apakah ia kecewa dengan cucunya maka jawabannya jelas kecewa. Namun di luar itu semua, ada yang lebih penting daripada kecewa yakni mengetahui sebuah fakta yang ada. Fakta tersebut jelasnya untuk meminta pertanggung jawaban, tak bisa lepas tangan dengan dosa besar yang Ayra lakukan, pria tersebut juga harus turut andil dalam menebusnya.

"Ayra!" teriak Tifanya yang emosinya langsung meledak karena cucu kesayangannya itu tak menjawab satu kata pun pertanyaannya. "Siapa cowok itu, Ayra!" ulangnya lagi dengan penuh penekanan.

"Gak mau, Ayra gak ma—"

"JAWAB, SIAPA ORANGNYA!" Merasakan emosi yang sama, Abdi yang sedari tadi diam melihat tingkah laku anaknya pun langsung turut bertanya.

"Raka! Orangnya Raka!"

PYAR!!!

Ivy yang sedari tadi hanya berada di depan pintu langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai, jantungnya berdegup kencang, napasnya memburu, tatapan matanya kosong, tangannya terus saja menampar pipinya, pikirannya melayang jauh. Tidak, ini tidak mungkin. Raka tidak mungkin mengkhianatinya.

"Aku udah pernah kasih tau ke Raka kalau aku hamil, dia mau tanggung jawab, tapi aku yang gak mau kalau dia tanggung jawab. Aku gak mau menghancurkan hubungan saudaraku sendiri, Mah, Pah. Aku gak mau jadi duri di hubungan mereka," jelas Ayra.

"Lo pasti bohong kan, Ra? Please, jangan fitnah Raka kayak gini. Tolong akuin aja siapa cowok yang gak mau tanggung jawab, jangan jadiin Raka kambing hitam atas perbuatan lo sama dia, karena gue yakin Raka gak mungkin mengkhianati gue." Mendengar penjelasan serta pengakuan dari Ayra tentu saja Ivy langsung bangkit dan menentang itu semua. Tak pernah terlintas dalam benaknya jika ia harus berada di situasi seperti ini dan jelas saja ini tidak mungkin terjadi, kan? Raka tidak mungkin mengkhianatinya. Raka sayang kepadanya.

"Haha, Ivy. Lo itu terlalu polos apa terlalu naif apa terlalu goblok sih? Lo pikir hubungan lo sama Raka sesehat dan sespesial itu sampai-sampai lo gak terima fakta? Raka yang ngehamilin gue. Dia cowok itu dan Raka udah tau semua. Dia bahkan mau tanggung jawab tapi gue yang gak mau karena gue masih mikirin lo! Coba tanya ke diri lo sendiri, lo berapa kali ribut sama Raka? Sering, kan? Lo itu terlalu keras kepala buat Raka yang penurut. Raka selalu terima apa yang lo mau, tapi lo gak pernah tanya apa yang dia mau. Dia selalu lari ke gue setiap kali ada masalah sama lo! Gue yang nemenin dia ke bar setiap kali dia mau menenangkan pikiran dia dan saat itu, di luar kendali gue, kita melakukan hal yang gak seharusnya kita lakukan. Ini dampaknya sekarang, gue hamil!"

***

Hai, semuanya! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat malam untuk kalian semua yang baca cerita ini!

Apa kabar semuanya? Baik, kan?

Ini part awal masalah-masalah akan terjadi ya. Semangat bacanya. Aku yakin kalian pasti bisa.

Kasih semangat buat Ivy di sini.

Sampai jumpa semua!

Xoxo,

LuthfiSeptihana🌹

Dokter VS AkuntanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang