Bagian 13

10.6K 1.5K 161
                                    

Disaat aku menjauh, kamu datang mendekat. Memberi harapan. Namun, disaat aku mulai berharap, dengan mudahnya kamu jatuhkan semua harapanku.

Aku bingung. Aku yang terlalu berharap atau bagaimana?

Selain membersihkan toilet, memungut sampah, hal yang akan guru-guru lakukan jika kita tidak mengerjakan, atau membawa tugas ke sekolah adalah lari mengelilingi lapangan. Seperti Belvina sekarang, dengan napas yang mulai terengah, dan keringat yang mulai bercucuran dari dahinya, ia masih terus berlari.

Dalam hati, ia mengumpat habis-habisan. Gara-gara Vio, ia jadi dihukum seperti ini. Ternyata, buku tugas matematikanya di pinjam oleh Vio semalam. Dan berujung dengan gadis itu lupa membawa buku Belvina.

Pasokan oksigen seperti menjauh dari tubuh Belvina. Dadanya mulai terasa sesak. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak. Menetralkan napas dan menghilangkan rasa penatnya. Namun, pada saat ia sudah mendaratkan bokongnya di pinggir lapangan, penglihatannya mulai mengabur. Kepalanya terasa pusing, seperti ditusuk-tusuk.

“Awhh ... kepala gue,” rintih Belvina sambil memegangi kepalanya dan memfokuskan pandangannya. “Ya ampun ... dada gue juga tambah sakit.”

Ia bingung mau minta tolong sama siapa. Pasalnya, ini sudah jam pelajaran. Para siswa pasti sudah duduk tenang di dalam kelas, sambil memperhatikan guru yang sedang menjelaskan.

“Aduhh ... ini kok malah makin sakit ya.” Belvina memejamkan matanya. Ia berusaha menghalau rasa sakit dan sesak yang semakin menjalar ke tubuhnya. “Yakali gue mati konyol disini!” ujarnya saat sakit di kepalanya terus bertambah.

Pandangannya mulai meredup. Kesadarannya perlahan hilang di culik seseorang. Jadilah, Belvina pingsan di pinggir lapangan.

****

Kelas XI IPS 2 sedang sibuk berkutat dengan buku tugas dan pulpen masing-masing. Hari ini, Pak Andre selaku guru PKN mengadakan ulangan dadakan, membuat seluruh siswa mengumpat bersamaan. Masalahnya minggu lalu, Pak Andre bilang ia tidak hadir. Lah, sekarang malah ngadain ulangan dadakan.

“Aldo!” Suara Pak Andre berhasil mengalihkan atensi seluruh siswa. Pria paruh baya itu, menatap tajam Aldo yang memainkan ponselnya secara diam-diam.

“I-iya pak,” sahut Aldo gugup. Ini guru keknya mo makan gua dah. Matanya nyeremin amat! Lanjutnya dalam hati.

“Simpan hp kamu!” perintah Pak Andre. Tangannya sibuk mengusap dagunya.

“Gak ada pak.”

“Hallah gak ada-gak ada, terus itu yang hitam-hitam apa?” ucap Pak Andre sambil menunjuk-nunjuk ke arah meja Aldo.

“Jenggot maksudnya pak,” sahut Aldo membuat seluruh siswa tertawa. “Lagian sok-sok kan ngusap dagu, tapi dagunya botak. Bapak itu guru PKN bukan guru agama.” Tawa yang tadinya mulai mereda kini kembali terdengar akibat celetukan asal yang keluar dari mulut Aldo.

BRAK!

Nah kicep kan lu pada batin Pak Andre puas saat semua siswa diam setelah ia memukul meja dengan keras. Ia menggeleng pelan lalu, mengusap dadanya. Mencoba bersabar menghadapi para murid yang ahlaknya tertinggal di kantin saat jam istirahat tadi.

“Siswa waktu 30 menit." Suara Pak Andre menginstrupsi seluruh siswa. "Kalian ini bagaimana sih, soal cuman tiga nomor jawabnya lama bener,” ujar Pak Andre sembari menatap ke seluruh penjuru ruangan. Memastikan, tidak ada lagi yang menyontek seperti Aldo barusan.

Memang, soalnya cuman tiga nomor. Tapi masalahnya, satu soal jawabannya sangat teramat panjang. Mungkin satu pulpen tidak cukup. Baru menulis setengah, tintanya sudah habis.

BEDA Where stories live. Discover now