Bagian 29

7.8K 1.1K 157
                                    

Rasa cemas, panik, dan bersalah beradu dalam hati seorang Daniel. Ia takut jika terjadi apa-apa dengan Belvia dan merasa bersalah karena gara-gara melindunginya gadis itu harus terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Kalau saja Belvina tidak memutar posisi mereka tadi, mungkin Daniel yang ada di sana sekarang.

Kondisi cowok itu sangat parah sekarang. Baju yang acak-acakan dengan bercak darah dan mata yang tidak henti-hentinya mengeluarkan cairan. Hatinya berdegup kencang tidak tenang. Sedari tadi, ia hanya mondar-mandir di depan ruang IGD sembari menunggu dokter keluar. Semoga, kabar yang ia dapatkan sebuah kabar gembira. Bukan duka.

Banyak orang yang memandangnya aneh. Bahkan secara terang-terangan menyebutnya gila.

"Diam sialan!" maki Daniel kepada salah satu suster yang lewat.

Vio yang mendengar itu mengangkat kepalanya. Kedua tangannya terkepal kuat. Sedari tadi, gadis itu terus berusaha menenangkan pikirannya namun tidak bisa. Pernyataan yang tidak-tidak terus saja hadir dalam otak gadis itu. Ditambah lagi dengan Daniel yang terus-terusan mengumpat dan sesekali meninju dinding rumah sakit membuat otaknya ingin pecah sekarang juga.

"Lo bisa tenang gak sih!" bentak Vio. Ia menatap tajam Daniel yang juga tengah menatapnya.

"Gimana gue bisa tenang kalau orang yang gue sayang sekarang berada di ambang kematian!" Daniel membalas ucapan Vio tak kalah keras.

Vio mengehela nafasnya kasar. "Belvina kayak gini juga gara-gara lo! Harusnya lo yang ada di dalam sana! Bukan Belvina! Harusnya lo yang lindungin dia, bukan dia yang lindungin lo Daniel! Percuma lo terus-terusan maki orang yang lewat. Itu gak bakal bikin Belvina sembuh seketika!" Vio menjeda ucapannya. Tangannya terangkat menyeka air matanya secara kasar sebelum melanjutkan ucapannya. "Lihat! Lihat orang yang pernah lo sakitin! Orang yang pernah lo maki tiap hari, lo bentak bahkan lo lukain fisiknya! Cewek, yang terus jadiin lo prioritas tapi lo malah anggap sampah yang gak ada gunanya sekarang jadi pelindung lo Daniel! Dia sekarang bertaruh nyawa gara-gara jadi perisai buat lo! Dia arrghhhhh!"

Vio sudah tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Isakan demi isakan terus keluar dari mulut gadis itu. Langkah kakinya membawa tubuh gadis itu untuk pergi dari sana. Ia butuh waktu dan tempat yang sepi untuk menenangkan pikirannya.

Sedangkan Daniel, cowok itu mematung di tempat tentu dengan rasa bersalah yang semakin penuh dalam hatinya. Kata demi kata yang Vio keluarkan benar-benar menohok hatinya. Semua yang gadis itu ucapkan benar. Gara-gara Daniel, Belvina sedang di ambang kematian sekarang.

Kedua kakinya melemas. Tubuhnya merosot ke lantai. Kedua tangannya terangkat mengacak rambutnya frustasi.

Kejadian beberapa jam yang lalu kembali terngiang. Tentang Dave yang melepaskan peluru itu dan Belvina yang memutar posisi mereka.

"Ini salah gue. Semua gara-gara gue! Kenapa kamu harus nolong aku Bel? Kenapa kamu nggak biarin cowok brengsek ini mati biar enggak nyakitin kamu lagi?"

"Harusnya aku yang ada di posisi kamu sekarang. Harusnya aku yang sakit. Aku yang diperiksa. Aku yang tersiksa. Bukan kamu."

"Aku enggak tau gimana hidup aku kedepannya kalau kamu pergi Bel. Aku belum siap kehilangan kamu. Kamu itu bahagiaku, kalau kamu pergi selama-lamanya berarti aku juga tidak akan pernah bisa merasakan bahagia lagi."

Daniel terus meracau tak jelas. Perasaannya tidak tenang. Cowok itu bingung harus apa sekarang.

Suara pintu terbuka terdengar. Dokter keluar dengan wajah sedikit cemas membuat Daniel semakin takut dan gelisah.

Dengan cepat cowok itu berdiri.

"Gimana keadaaan pacar saya, Dok?" tanya Daniel.

Dokter yang diketahui bernama Yuki itu mengehla nafas pelan. "Peluru sudah hampir menembus jantung pasien. Dia kehilangan banyak darah dan akan melakukan operasi secepatnya. Tapi, Mas tenang aja. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien."

Dokter kembali masuk ke dalam ruangan meninggalkan Daniel dengan hati yang semakin gelisah.

****

Dengan langkah sempoyongan, kedua kaki jenjang itu membawa Vio ke taman Rumah Sakit. Gadis itu butuh ketenangan, dan di sini ia bisa menemukan itu. Ia duduk di kursi panjang ditemani dengan bunga-bunga indah yang menghiasi taman itu. Tapi sayang, indahnya bunga itu sangat berbanding terbalik dengan hatinya. Hatinya hancur. Ia kacau. Perasaan bersalah itu kembali datang. Rasa khawatir dan gelisah mendominasi hatinya sekarang.

Vio memejamkan matanya kuat. Melihat kondisi Belvina membuat ia merasa terpukul. Ia menyesal karena tidak mempercayai Belvina dan malah percaya terhadap Echa, yang jelas-jelas telah mengkhianati mereka.

Sebenarnya Vio waktu itu ingin percaya kepada Belvina. Mengingat, mereka sudah temenan dari jaman SMP dan tentu saja Vio tau kalau Belvina tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Tetapi yang membuat Vio tidak mempercayai Belvina, karena ia takut satu sekolahan juga ikut membencinya dan menganggap bahwa, Vio juga sama seperti Belvina.

Kondisi gadis itu sekarang tergeletak mengenaskan di atas ranjang rumah sakit. Berusaha bertahan agar tetap bisa lihat dunia. Vio tidak akan rela jika harus kehilangan Belvina. Belvina pergi, maka Vio juga kehilangan separuh hidupnya.

"Bel ... maaf. Maafin gue Bel. Gue gak pantas disebut sahabat. Gue pantasnya disebut musuh. Atau enggak orang yang gak tau diri!"

"Lo terlalu baik buat teman kayak gue Bel. Lo terlalu sabar. Dan lo ... terlalu kuat hadapin kenyataan. Gue harap lo tetap bertahan. Gue pengin minta maaf sama lo. Gue pengin peluk lo, cium lo juga sekalian Bel. Nanti kalau lo pergi, mau curhat sama siapa gue? Sama nisan lo?"

Vio semakin terisak. Hatinya terasa seperti diremas. Ia butuh seseorang untuk menguatkannya. Biasanya, jika Vio merasa serapuh ini, maka ada Belvina yang akan menenangkannya. Tetapi sekarang? Bahkan Vio tidak tau, gadis itu masih hidup atau sudah tiada.

"Sebagai teman gue harus ada di saat suka dan duka kan? Tapi gue malah pergi disaat lo berduka Bel. Teman macam apa gue? Teman sampah! Gue gak tau balas budi. Lo selalu jadi orang pertama yang hapus air mata gue. Tapi gue? Gue malah jadi orang yang buat air mata itu turun Bel. Lo boleh hukum gue! Lo boleh maki gue! Asal tolong, jangan pergi dari hidup gue untuk selamanya."

"Gue rela dibenci sama lo. Gue rela di anggap musuh sama lo, tapi gue gak akan rela kalau lo menghilang dari dunia gue!"

Isakan itu berubah menjadi sebuah teriakan. Vio tidak peduli dengan orang yang menganggapnya gila. Ia hanya ingin meluapkan semua emosinya sekarang.

Gadis itu sedikit tersentak saat ada seseorang yang tiba-tiba memeluknya. Ia tidak menolak dan tidak juga membalas pelukan itu.

"Nangis sekencang yang lo bisa. Keluarin semua apa yang lo rasain, Vi!"

Itu Aldo. Laki-laki itu adalah Aldo. Entah datang darimana, Vio juga tidak tahu.

Mulut Vio kembali mengeluarkan isakan. Kedua tangannya mulai membalas pelukan Aldo. Pelukan itu terasa nyaman. Ada perasaan aneh yang menerpa saat Aldo mengencangkan pelukannya.

****

Sudah hampir empat jam, Daniel, Vio, dan Aldo menunggu di depan ruang operasi namum operasi itu tidak kunjung selesai.

Daniel hanya duduk diam. Dia masih sibuk bergelut dengan otaknya yang selalu berifikir negatif.

"Daniel, Belvina bener gapapa kan?"

Daniel langsung menatap Vio. Ia bisa melihat sorot kekhawatiran di kedua retina mata gadis itu. Daniel hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Gue takut kalau operasinya gagal dan Belvina meninggal," lirih Vio membuat Aldo langsung mengusap punggungnya.

"Jangan mikir aneh-aneh. Berdoa saja sama Tuhan. Semoga Belvina gak apa-apa."

"Gue takut aja Al. Gue gak mau Belvina pergi."

Vio kembali menangis dalam dekapan Aldo. Daniel yang melihat itu mengehla napasnya kasar. Otaknya juga tidak mau di ajak kompromi untuk tidak berfikir yang macam-macam.

Kamu harus bertahan.

BEDA Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin