44. YANG TERBAIK

87 14 0
                                    

Andrea menaruh dagunya tepat pada topangan tangannya. Sambil memandangi bulan yang bersinar indah, pikirannya melayang-layang entah kemana. Diambilnya kedua amplop yang berada di atas meja belajarnya. Sebuah amplop coklat berisi panggilan test beasiswa yang akan menjadi masa depannya, dan satu amplop lagi yang sudah berisi surat pengunduran dirinya yang akan diberikannya pada Daniel esok hari.

"Mungkin memang sudah jalannya, ini yang terbaik, Andrea, yang terbaik," bisik Andrea untuk menghibur dirinya sendiri.

Sesungguhnya Andrea ingin keluar saat semuanya selesai, tetapi perkataan Daniel tadi siang membuatnya sadar. Seberapa lamanya Andrea berada di sisi Daniel untuk membantunya, pada akhirnya ia memang harus meninggalkannya. Saat ini, atau nanti, tidak menjadi masalah. 

"Tok..., tok...,tok...," pintu kamar Andrea berbunyi.

"Masuk," kata Andrea mempersilahkan bapak untuk masuk kamarnya.

"Dea, Bapak bikinin teh hangat untuk kamu," kata Bapak sambil menaruh segelas teh di atas meja.

"Terima kasih, Pak. Tidak perlu repot-repot."

"Apa kamu baik-baik saja? Bapak khawatir, sejak pulang dari tadi, kamu tampak muram dan sedih. Kamu lebih banyak diam, tidak ceria seperti biasanya."

"Ga apa-apa, pak. Andrea cuma punya sedikit masalah. Tapi, semuanya baik-baik saja," jawab Andrea sambil tersenyum.

"Masalah anak muda ya?" tanya Bapak

"Uhuk," Andrea terbatuk setelah menyeruput teh hangat dari bapak. Pertanyaan bapak barusan, tidak pernah disangkanya.

"Jadi pria itu cari masalah sama kamu?" lanjut bapak melihat gerak gerik anak perempuannya.

"Ehem, hmmm," otak Andrea masih mencari kata-kata yang tepat untuk mencari jawaban atas pertanyaan bapak, tetapi hasilnya nol besar.

"Ya, sudah. Ga usah dijawab, bapak sudah tahu jawabannya."

"Eh, bapak tahu darimana?"

"Dari muka kamu," kata Bapak dengan senyuman jahil.

"Pak...," pinta Andrea yang mulai tersipu.

"Daniel memang kaki-laki yang beruntung. Sayang sekali, mungkin dia tidak menyadarinya."

Andrea menarik nafasnya, ia tidak bisa mengelak lagi. "Dea juga ga ngerti, pak, kenapa Dea punya perasaan sama pembuat onar itu. Tapi, bapak tenang saja, sekarang sudah tidak ada hubungan lagi antara kami. Lagipula besok  Dea juga berniat untu mengundurkan diri."

"Loh, kenapa? Apa Daniel memperlakukan kamu dengan kurang baik? Bapak tahu, terkadang dia memang kurang ramah, kadang suka memaksa, tapi selama ini, bapak lihat dia cukup bertanggung jawab. Setidaknya, dia selalu mengantarkan kamu pulang setiap hari. Dan dia mengantarkan kamu sampai ke depan rumah jika kamu pulang terlalu larut."

"Bukan pak, bukan karena Daniel."

"Lalu karena masalah apa? Apa karena dia tidak membalas perasaanmu?"

"Pak," keluh Andrea sedikit malu.

"Kamu tidak perlu sungkan untuk cerita masalah apapun sama bapak. Sejak ibumu meninggal, bapak sudah berjanji untuk menggantikan peran ibumu juga. Jadi kamu boleh cerita masalah apapun dengan bapak, senyaman kamu bicara dengan ibu," kata bapak sambil memegang tangan anaknya.

Andrea tersenyum, hatinya terharu mendengar perkataan ayahnya. Setelah melihat hubungan Daniel dengan ayahnya, Andrea merasa beruntung memiliki bapak yang mau mendengarkan curahan hatinya. Bukan yang selalu memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya.

PENGHISAP DARAH SLAYERWhere stories live. Discover now