34. PERJODOHAN

81 9 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 6 sore, Daniel sudah rapi dengan setelan jas berkelas pilihan Robert dan jajaran team fashionnya. Dasi berwarna hitam serta jas abu-abu buatan tailor terkenal membuat penampilannya sangat sempurna walaupun secara kenyamanan, pakaian ini begitu menyesakkan dada. Sesungguhnya, Daniel lebih menyukai pakaian yang sedikit lebih longgar, akan tetapi, melihat jas super ketat ini memberikan level kekerenan tertinggi pada penampilannya, ia tidak punya alasan untuk mengeluh.

"Tok...Tok...," suara ketukan di depan pintu kamarnya.

"Masuk!"

"Daniel, lo sudah siap?" kata Robert yang sudah menunggu Daniel dari luar kamarnya. Ada sedikit getaran dalam suaranya. Ini pertama kalinya Robert berbicara pada Daniel, sejak keributan di lokasi shooting beberapa minggu yang lalu. Jika saja Angel tidak menculik Andrea, maka Robert tidak perlu mengumpulkan gengsi dan keberaniannya untuk memulai pembicaraan dengan sang naga beringas di hadapannya.

"Hmmm," jawab Daniel dengan nada angkuhnya.

"Baiklah, kalau lo sudah siap, sebaiknya lo turun ke bawah. Bokab lo sudah nungguin dari tadi," kata Robert sambil menutup pintu kamar Daniel.

"Rob," panggil Daniel sebelum Robert sempat menutup pintu dengan rapat.

Sesungguhnya Robert tidak berharap sang naga ganas akan memanggil namanya. Tetapi, seenggan apapun Robert menjawab, ini adalah pekerjaan. Profesionalitas, tidak lebih. Apapun titah seorang tuan, seorang hamba tetap harus melaksanakannya.

"Ada apa?" tanya Robert sambil membuka sedikit celah pintu untuk mendengarkan perkataan Daniel.

"Sorry," kata Daniel sambil memperbaiki dasinya di hadapan cermin. "Sorry, karena waktu itu gue sudah bersikap kasar sama lo."

"Tu...tunggu, apa gue ga salah denger?" tanya Robert sekali lagi.

Daniel menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. "Jujur, permintaan maaf bukan ide gue. Itu idenya Andrea, karena menurut dia, gue harus minta maaf duluan sama lo. Walaupun gue masih berpikir, lo yang memulai peristiwa pagi itu."

"Oh, ok," jawab Robert sambil tersenyum mendengar nada bicara Daniel. Suara pria dewasa yang terdegar seperti suara seorang anak kecil yang dipaksa minta maaf oleh ibunya.

"Ya udah, gitu aja," jawab Daniel.

"Sorry," potong Robert sambil tersenyum. "Sorry juga, sudah memprovokasi lo sampai marah besar. Tapi, permintaan maaf gue, bukan ide orang lain. Murni ide gue sendiri, dan gue memang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya."

"Hmmm, jadi masalah kita selesai ya?" tanya Daniel.

"Gue harap demikian. Daniel, ngomong-ngomong lo tahu Angel dan Andrea pergi ke mana? Mereka belum pulang sampai sekarang, dan teleponnya juga ga bisa dihubungi. Ya, bukan gue kepo gimana, tapi gua takut bokab lo ngomel kalau adik lo terlambat," tanya Robert.

"Dasar, anak kecil. Biar gue telepon," jawab Daniel ambil mengeluarkan handphone dari balik jasnya.

"Tut.., tut..., Hallo? Angel lo di mana?" tanya Daniel ketika teleponnya tersambung.

"Brroooo..., gue telat sedikit ya, jalanan macet banget, gila deh. Jangan sampe bokap tahu, please. Atau kalau dia tahu, lo rayu-rayu gimana terserah lo, tapi gue ga mau kena letusan lava gunung berapi malam ini karena gue telat," kata Angel menerima telepon Daniel.

"Dasar anak kecil, gue udah bilang pestanya mulai jam 7, pake pergi seharian, nyulik asisten gue pula, mana ga jelas kemana."

"Iya, iya, gue yang salah. Tapi, lo tetep bantuin, ya. Please," ujar Angel memelas.

PENGHISAP DARAH SLAYERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang