1. Erika

24 2 0
                                    

RISKA

"Bun, ternyata anak baru yang kemarin aku ceritain sama Bunda itu tetangga kita, lho," jelas bocah 9 tahun dihadapanku.

"Oh ya? Memangnya Eris sudah berkenalan dengannya?" tanyaku sambil menyendok nasi keatas piringnya.

"Sudah dong, malahan tadi pulang bareng."

"Oh ya? Anaknya gimana? Cantik ga?"

"Kok Bunda nanyanya gitu sih? Yang cantik itu kan cuma Bunda," kekehnya.

Aku ikut tersenyum mendengar gombalannya. Meski masih kecil tapi anak semata wayangku ini pandai menyenangkan hatiku. Mungkin karena di rumah ini selain Mbok Narti pembantu kami, hanya ada kami berdua, jadi meski dia anak lelaki dia sangat dekat denganku.

Sudah hampir empat tahun aku menjadi orang tua tunggal untuk anakku, semenjak mantan suamiku meninggalkan kami demi hidup dengan wanita itu. Wanita yang kuketahui sebagai rekan kerjanya namun ternyata menjadi orang ketiga dalam pernikahan kami.

Beruntung di awal pernikahan rumah ini kami beli atas namaku, jadi aku bisa bertahan di sini meski hanya berdua dengan Eris. Mas Wisnu, mantan suamiku itu sekarang entah tinggal dimana bersama istri barunya. Aku tak begitu memperdulikannya mereka mau tinggal dimana, toh menurutku mereka akan selalu bahagia tinggal dimana pun, karena bagi orang yang dimabuk asmara tinggal di gubuk pun serasa di istana. Kata orang-orang, sih.

Meski pernikahan kami terjadi atas perjodohan orang tua kami namun aku berusaha bisa menerima Mas Wisnu sebagai suamiku. Padahal sebelum kami menikah aku sedang menjalin hubungan serius dengan Mas Erga.

Namun tidak bagi Mas Wisnu, sampai akhirnya kami berpisah pun sepertinya dia tidak pernah menganggapku sebagai istrinya. Bahkan kehadiran Eris diantara kami sama sekali tidak merubah hatinya.

Tidak seperti suami pada umumnya yang sangat bahagia dengan kelahiran anak laki-laki pertamanya, Mas Wisnu bersikap tidak peduli bahkan untuk mengadzani dan memberi nama pun tidak dia lakukan.

"Ayamnya lagi, Bun," pinta Eris ketika kulihat sepotong ayam yang tadi aku taruh di atas nasinya telah raib.

"Alhamdulillah, enak ya ayamnya?" tanyaku berbasa-basi, padahal aku tahu apapun yang aku masak Eris selalu bilang masakan Bunda juara.

"Ayam goreng buatan Bunda rasanya memang juara," pujinya tepat seperti dugaanku.

"Terimakasih, Sayang," balasku.

"Bun, besok aku boleh main ke rumah Erika? Tapi sambil membawa kue buatan Bunda, supaya mereka tahu kalau Bundaku pintar bikin kue," serunya disela-sela suapannya.

"Erika?" tanyaku heran.

"Iya Erika. Teman aku yang rumahnya di sebelah itu namanya Erika," tegas Eris. "Namanya mirip namaku ya, Bun," lanjutnya.

Aku mengangguk dan tersenyum tipis. Mendengar nama Erika aku seperti terseret ke masa dimana aku pernah berharap bersama seseorang.
Merencanakan masa depan dengan sangat indah. Membayangkan ketika kami berkeluarga dan memiliki anak-anak yang lucu.

"Kalau kita punya anak laki-laki aku mau memberinya nama Eris, gabungan nama kita, Mas. Erga dan Riska," ucapku kala itu.

Mas Erga tersenyum disebelahku dan berkata, " Kalau kita punya anak perempuan, Mas akan memberinya nama Erika."

Dan kami pun tertawa bahagia seperti sudah yakin bahwa masa depan akan sesuai dengan harapan kami. Namun ternyata tidak, setelah itu aku harus terpaksa menikah dengan Mas Wisnu, laki-laki pilihan Ayah. Dan Mas Erga entah pergi kemana yang kutahu saat itu dia kelihatan sangat kacau.

Tetangga Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now