4. Mas Ganteng

8 2 0
                                    


RISKA

*

"Maaf, Bu. Ada tamu mencari Nak Eris. Katanya tetangga baru yang disebelah itu, namanya Erika."

Sore ini ketika aku bersantai bersama Eris tiba-tiba Mbok Narti memberi tahu kalau ada Erika bertamu.

Eris bangkit kemudian dengan antusias berjalan ke depan. Sementara aku masih terdiam, menerka-nerka apakah Eris datang sendirian atau .... ?

Segera ku kenakan kerudung dan berjalan dengan ragu menuju ruang tamu.

"Selamat sore, maaf lama menung .... " Kalimatku terjeda setelah melihat sosok yang tengah duduk bersama Erika. Sosok yang susah payah aku hilangkan dari ingatanku. Mas Erga, benar ini Mas Erga dan Erika tenyata anaknya Mas Erga.

"Riska." Setelah 10 tahun berlalu kini aku mendengar bibir itu kembali menyebut namaku. Rasanya ada berjuta bintang diatas kepalaku. Ada getaran yang tak pernah lagi kurasakan selama ini. Kaget dan gugup juga ... mungkin bahagia.

"Mas Erga .... " Kata itu akhirnya lolos dari bibirku. Pelan tapi aku yakin dia mendengarnya.

"Jadi Eris ini, anakmu?" tanyanya.

"Iya, Mas. Dan benar, Erika adalah anak Mas Erga?"

"Iya. " Dia mengangguk. Suaranya sedikit bergetar. Mungkin dia merasa gugup sama sepertiku. Bahkan aku tak berani mengangkat wajahku. Meski sebenarnya aku ingin berlari memeluknya, meminta maaf telah meninggalkannya dan memilih menikah dengan laki-laki pilihan orang tuaku. Aku sangat merasa bersalah karena tidak memperjuangkan cinta kami dulu.

Ah, tapi kini kami bertemu dalam keadaan yang berbeda. Meski aku kini sendiri tapi Mas Erga sudah bersama orang lain dan telah memiliki Erika. Ya, semuanya tak lagi sama. Aku tidak boleh larut dalam perasaanku. Perasaan yang tak kumengerti. Mungkin rindu atau hanya sebatas bahagia melihat dia baik-baik saja.

"Jadi Bunda sudah kenal dengan Papanya Erika?" Pertanyaan Eris cukup membuatku kaget.

"Iya, Om Erga ini dulu teman Bunda," jelasku.

Kutanyakan keadaan Erika dan terpaksa mengangkat wajahku memandang Erika, namun aku tahu sosok di samping Erika tengah menatapku. Mas Erga, sebenarnya aku rindu bersitatap seperti dulu. Matamu selalu mengalirkan semangat dan kekuatan untukku. Mata yang dulu selalu memandangku dengan penuh cinta. Aku rindu seperti itu, Mas. Astaga! Apa yang aku pikirkan? Dia milik orang lain dan mungkin saja aku sudah tidak lagi berarti baginya.

Aku meminta maaf atas kejadian kemarin, tapi Mas Erga bilang justru kedatangannya ke sini untuk berterima kasih karena sudah membawa Erika ke dokter. Kukira Mas Erga akan marah karena Erika celaka bersama Eris.

Erika juga memberikan sekotak coklat untuk Eris. Saat aku berterimakasih, Erika bilang aku harus berterima kasih pada Papanya karena dia yang membelikan coklat.

Ya ampun. Haruskah aku berkata 'Mas terimakasih coklatnya, aku suka banget. Manis kayak kamu.' seperti dulu ketika dia diam-diam membeli coklat dan tanpa berkata-kata dia tiba-tiba memberikannya padaku. Tidak. Sadar, Riska. Sekarang sudah berbeda.

"Kami pamit dulu, sudah sore." Mas Erga berdiri diikuti oleh Erika.

"Aku masih boleh bermain dengan Erika kan, Om?" Tanya Eris sambil memandang Mas Erga penuh harap.

"Tentu saja boleh, pintu rumah kami selalu terbuka untuk kalian. Om tunggu ya," ucapnya tersenyum ke arah Eris lalu beralih melirikku. Segera aku menunduk karena tak ingin beradu pandang dengannya. Aku takut tenggelam lagi Mas, sebab pesona Mas Erga masih seperti dulu bahkan tubuh tingginya kini lebih berisi dan berotot. Astaga, Riska!

Tetangga Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now