3. Ternyata

13 2 2
                                    


ERGA

*

Aku Erga. Erga Dirgantara. Kembali ke kota ini setelah beberapa tahun meninggalkannya. Sakit hati karena cintaku kandas sebelum sampai ke pelaminan, membuat aku pergi dari sini dan tak menghiraukan tangisan Mama yang memintaku jangan pergi.

Saat itu aku baru saja wisuda dan sama sekali belum memiliki pengalaman bekerja. Namun aku nekad karena ingin melupakan bayangan kekasih hatiku bersanding di pelaminan dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Satu tahun aku terombang-ambing bekerja keluar masuk dari perusahaan satu ke lainnya. Apapun aku kerjakan termasuk bekerja sebagai tukang cuci mobil. Papa sudah berulangkali memintaku pulang dan menawarkan kedudukan di perusahaannya. Tapi saat itu aku masih belum mau pulang.

Memasuki tahun kedua aku terpaksa pulang karena Mama dan keluargaku saat itu benar-benar membutuhkan aku. Papa meninggal karena penyakit yang sudah lama di deritanya. Namun aku tidak mau berlama-lama tinggal di kota ini dan akhirnya aku boyong mereka ke kota lain dimana aku mengurus anak perusahaan Papa. Sedangkan perusahaan yang ada di kota ini aku percayakan pada adiknya  Papa.

Kehadiran Erika membuat aku selalu bersemangat. Sampai akhirnya Mama pun harus pergi menghadap sang pencipta. Aku sempat merasa hidupku akan sia-sia tanpa orang tuaku. Namun lagi-lagi Erika menjadi penyemangatku untuk tidak terpuruk dan terus melanjutkan hidup.

Bulan lalu aku mendapat kabar bahwa perusahaan yang aku percayakan pada pamanku mengalami masalah dan kerugian yang tidak sedikit. Aku terpaksa pindah untuk sementara ke kota ini untuk mengatasi masalah itu. Dan tidak mungkin meninggalkan Erika di sana. Meskipun ada Bi Nami pembantu kami namun aku tak bisa berjauhan dengan Erika.

Dan di sinilah aku sekarang, dirumah yang aku sewa untuk waktu setahun. Pemilik rumah ini menawarkan agar aku membelinya, tapi aku tidak berniat toh hanya tinggal satu tahun saja di sini.

Kuharap Erika merasa betah dan mudah beradaptasi di sini. Karena sebelumnya aku sangat membatasi pergaulan Erika. Aku tidak mau dia terkontaminasi pergaulan anak-anak di masa kini.

Syukurlah di hari pertama dia bersekolah disini, dia sudah memiliki teman. Dari ceritanya Erika sangat senang mendapatkan teman-teman baru. Dan beruntung salah satu temannya tinggal di sebelah rumah kami. Itu artinya Erika akan punya teman ketika aku tinggal untuk bekerja tanpa harus khawatir dia akan pergi jauh dari rumah.

"Namanya Eris, Pa. Dia baik dan suka naik sepeda ke sekolah," kata Erika bersemangat menceritakan teman barunya.

"Eris? Nama yang bagus," jawabku.

"Mirip dengan namaku, ya? Kata teman-temanku nama Erika dan Eris seperti nama adik kakak, apa betul, Pa?" Pertanyaan Erika membuat ada yang berdenyut nyeri di dalam dadaku.

Ya, seharusnya Eris dan Erika adalah nama adik kakak. Nama anak-anakku bersamanya. Dia yang dulu memimpikan hidup bahagia denganku tapi kini telah menjalani kebahagiaan  bersama orang lain. Mataku mengerjap menahan sesuatu yang ingin menerobos keluar. Aku tidak boleh menangis di depan Erika, karena bagi Erika aku adalah sosok ayah yang sangat dia banggakan. Aku tidak boleh terlihat lemah.

"Iya, bisa jadi seperti itu." Aku mengembangkan senyum palsu dihadapan Erika.

"Oh iya, aku boleh nggak punya sepeda? Aku kan sudah 9 tahun, Pa. Dulu Papa janji kalau aku boleh punya sepeda setelah usiaku 9 tahun."

Ya ampun. Benar kata orang tua, jangan pernah berjanji kepada anak-anak karena mereka akan selalu mengingatnya.

"Tapi jangan sekarang ya. Sekarang Papa masih banyak urusan di kantor. Nanti hari Minggu, kita beli sepedanya."

Tetangga Dari Masa LaluWhere stories live. Discover now