2. Bermain sepeda

17 2 0
                                    

RISKA

*

Bergegas aku keluar dan ingin secepatnya pergi dari rumah ini. Bagaimana kalau tiba-tiba lelaki itu datang? Tidak. Aku belum sanggup untuk bertemu dengannya. Hatiku belum siap menghadapi guncangan perasaan yang aku yakin tidak bisa aku kendalikan.

Kulangkahkan kaki lebar-lebar hingga tak sadar Eris sampai setengah berlari untuk mengimbangi langkahku.

"Bun, jalannya jangan cepat-cepat, aku kan ketinggalan," rengeknya di belakangku.

Astaga!

Segera kupelankan langkah karena memang sudah memasuki gerbang rumahku.

"Padahal kita belum bertemu dengan Papanya Erika, Bun," ucapnya lagi.

"Rumah kita kan deket, besok atau kapanpun kita bisa berkunjung lagi," balasku dan ups! Kenapa aku bisa berkata seperti itu?

"Beneran ya, Bun."

Untuk menghindari salah kata lagi aku hanya mengangguk, sementara Eris nampak senang.

***

Malam ini sungguh menjadi malam yang sangat panjang untukku. Kenapa bisa aku harus bertetangga dengan Mas Erga. Lelaki yang sudah susah payah aku hilangkan dari ingatanku.

Aku tak menduga akan bertemu lagi dengan Mas Erga setelah 10 tahun berlalu. Rasa bersalahku padanya masih memenuhi rongga dada. Aku merasa bersalah karena tidak mampu memperjuangkan cinta kami dan memilih pasrah menikah dengan Mas Wisnu.

Mungkin Mas Erga akan marah dan membenciku. Eh, tapi belum tentu juga Mas Erga tinggal di sebelah rumahku. Bukankah aku belum melihatnya langsung. Pria dalam poto itu bisa saja bukan Papanya Erika. Bisa saja Erika itu keponakan atau adik Mas Erga. Tapi wajah mereka begitu mirip.

***

Pagi ini ketika aku berbelanja di Abang sayur seperti biasa terdengar kasak kusuk ibu-ibu ratu gosip.

"Eh, tetangga baru itu ternyata ganteng lho, " ujar Bu Desy yang terkenal genit.

"Halah, semua laki-laki ganteng dimata Bu Desy, " balas Bu Ane.

"Beneran, Bu. Kemarin saya liat pas dia nyuci mobil pagi-pagi. Dari seberang kan jelas kelihatan. Saya pura-pura nyapu aja, hihi .... "

Tak mau terlibat terlalu jauh mendengarkan ghibahan mereka, selesai berbelanja aku segera masuk ke dalam rumah. Meletakkan belanjaan di atas meja makan lalu meminta Mbok Narti untuk mengolahnya sebagian dan menyimpannya sisanya ke dalam lemari pendingin.

Segera aku bersiap untuk pergi berbelanja bahan-bahan kue karena ada pesanan beberapa macam kue basah untuk nanti sore. Kupacu motor kesayangan keluar dari halaman menuju toko bahan-bahan kue yang terletak di luar komplek.

Bersamaan dengan motorku yang keluar dari pintu pagar rumahku, kulihat mobil tetangga baruku juga keluar dari pintu pagar rumahnya. Aku berhenti dan membiarkan mobil itu melewatiku dulu.

Segera kuturunkan kaca helmku dan beruntungnya aku menggunakan masker yang besar kemungkinan menutupi 80 persen wajahku. Aman.

Jiwa kepoku seketika meronta. Penasaran. Dari balik kaca helm, mataku mengamati sosok yang duduk di belakang kemudi. Namun sial, kaca mobilnya yang berwarna gelap membuat mataku tidak bisa dengan jelas menyelidiki sosok itu. Hanya terlihat bayangan siluet seorang lelaki berkacamata tengah duduk menyetir. Dan aku tidak bisa memastikan bahwa itu Mas Erga atau bukan.

Beberapa saat aku diam mengamati mobil tetangga baruku yang kian menjauh, lalu aku tersadar dan segera melanjutkan niatku untuk berbelanja.

***

Tetangga Dari Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang