SATU - Pertemuan Takdir Malaikat Kematian

184 11 15
                                    

"Siapa yang menyuruh kalian menendang akuarium pengamatan metamorfosis tidak sempurna pada belalang?!" omel Pak Riba dalam satu tarikan napas.

Andro sampai terbeliak pada kemampuan mengomel guru biologinya yang terkenal dengan nada suara melengking serta rambut keritingnya yang khas.

Padahal lagi ngomel, tapi sempat-sempatnya gitu merepet dengan lengkap jenis akuarium yang tidak sengaja ditendangnya itu seperti sedang presentasi.

"Nimfanya jadi hilang dan tidak bisa ditangkap lagi!" sambung Pak Riba.

"Soalnya mati, Pak dimakan katak di kolam itu. Tapi sumpah, bukan kita yang bunuh anak belalangnya!" lapor Laluna dengan nada suara yang panik seolah habis mendorong objek pengamatan tersebut menjemput ajal pada objek pengamatan lain di kolam buatan sekolah.

Pak Riba menghela napas letih sembari menepuk dadanya. Pria paruh baya itu mencoba menekan emosinya menghadapi kelakuan muridnya.

Sudah berbuat salah dengan menendang akuarium pengamatan, ditambah lagi salah menyebut istilah hewan yang jadi materi kelasnya dua minggu lalu.

Bagaimana Pak Riba nggak cepat kambuh darah tingginya jika menghadapi murid seperti ini?

"Kalian berdua ini murid jurusan IPA atau IPS?" sergah Pak Riba dengan geram.

"Masa Pak Riba mendadak pikun juga sih? Saya kan Andro, murid kelas 12 IPA—"

"Sudah tahu murid jurusan IPA masih salah menyebut istilah hewan?" bentak Pak Riba. "Nimfa, Laluna. Bukan anak belalang!"

Andro terkesiap lalu menyeringai geli pada cewek mungil yang berdiri di sampingnya.

Padahal beberapa saat lalu cewek itu tengah menendang-nendang akuarium tersebut sebagai bentuk luapan rasa kesalnya.

"Kenapa setiap ada masalah, saya selalu bertemu kalian berdua sih?!" Pak Riba bersedekap kemudian meneliti kedua murid pembuat onar di kelasnya beberapa jam yang lalu. "Tadi kalian baru saja membuat keributan, sekarang sudah bikin masalah lagi," celoteh Pak Riba sambil berdecak kesal.

Laluna hanya mengedikkan bahu sambil menghela napas. Mungkin salah satu buah kesialan yang harus diterimanya hari ini yaitu berhadapan dengan Andromeda Gerardus.

Salah satu murid di SMA Batavia yang masuk kelas IPA unggulan bukan karena nilai akademiknya, tapi karena kekuasaan orang tuanya.

Sebetulnya sih Laluna bukan murid yang jenius-jenius amat. Ia hanya sedikit lebih rajin saja sehingga nilai-nilainya cukup mengantarkannya pada kelas unggulan.

Laluna juga bukan golongan murid yang ambisius atas dasar reputasi juga gengsi.

Alasan cewek itu ingin menghindari banyak hal. Yang tidak mungkin menghampirinya jika dirinya masuk ke dalam kelas IPA unggulan.

"Saya juga mana tahu kenapa bisa ketemu bapak lagi di sini," sergah Andro dengan santai sambil mengedikkan bahu.

"Andro, perlu saya ingatkan kalau tadi kamu habis membanting gelas ukur di laboratorium hanya karena Randy menyinggungmu?!" seru Pak Riba.

"Masih untung nggak saya siram pakai air keras, Pak supaya mulutnya berhenti ngoceh kayak cewek," sergah Andro asal.

Laluna kini gantian menyeringai geli menatap Andro. Dipikir-pikir jarang juga melihat sisi sompral dari cowok garang yang ditakuti nyaris seluruh populasi di SMA Batavia.

Malah kadang Laluna berpikir ingin menjadi parasit saja yang menempel pada Andro agar 'hal-hal yang dihindarinya' itu tidak berani merekat padanya.

"Memangnya kamu berminat jadi kriminal sejak muda, Andro?" sindir Pak Riba dengan nada sarkastis.

Luka Cita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang