TUJUH - Akrab dengan Sepi

28 7 0
                                    

Dari lubuk hati yang paling dalam, aku bener-bener minta maaf.

Ada segunung masalah dan keadaan super pahit yang belakangan sedang aku rasakan sehingga membuatku lupa untuk update.

Tapi nyatanya, setelah nulis pikiranku sedikit membaik...

Memang ya, pelarian paling ampuh dari peliknya hidup cuma nulis wkwkwk

Nah jadinyaaa untuk menebus permintaan maaf, aku hadiahkan chapter yang puanjang ini buat kalian^^

Happy reading guys~ Jangan lupa hujani komen dan vote sebanyak-banyaknya~


***

"Luna, Luna, untung aja Reza ngenalin kamu tadi." Amara menatap prihatin pada Laluna yang baru muncul ditemani manager bistro Jepang mahal ke area privat. "Kamu nggak bakal dibolehin masuk," sergah Amara kemudian lanjut memotong steiknya usai putri tunggalnya itu bergabung di sebelahnya.

"Lagian, kamu abis dari mana sih, Lun? Kok lusuh gitu? Kenapa nggak telepon Papi sih? Nanti Papi bisa suruh supir jemput kamu," berondong Cakra dengan tatapan khawatir kemudian mengisyaratkan seorang pelayan untuk memberi putri angkatnya itu sebuah lap basah untuk menghapus noda kotor dan darah di bibirnya.

"Kamu tuh keluyuran melulu deh, Lun!" tegur Amara. "Masa anak gadis kelayapan melulu sampai malam begini? Nanti jadi bahan omongan orang-orang ke Papi kamu."

Cakra menggeleng pada Amara yang dibalas wanita itu dengan hembusan napas kesal, "Kamu mau pesan apa, Lun? Saikoro steik favorit kamu? Atau kamu mau makan yang lain?" tanya Cakra.

"Mas, kamu tuh terlalu manjain Luna deh. Besok nih dia pasti mengulangi lagi. Kan jadi kebiasaan barunya buat keluyuran nggak jelas," cecar Amara dengan kesal sambil memotong steiknya dan menimbulkan suara yang terdengar ngilu hasil gesekan pisau steik yang terlalu keras. "Kamu tuh nggak kapok apa Lun, udah bikin anak orang mati beberapa bulan lalu? Kakak kamu juga kena imbasnya!"

Sonya seketika berhenti mengunyah dan terkesiap menatap ibu sambungnya. Tadinya dia tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Karena energinya sudah keburu habis untuk berpura-pura menjadi kakak yang tengah mengkhawatiran adiknya beberapa jam lalu. Ketika Papa dan Ibu tirinya menanyai keberadaan Laluna dan nyaris batal berangkat makan malam jika saja Sonya tidak berupaya keras membujuk mereka.

Diam-diam Sonya menarik bibirnya. Merasa bahagia mendengar ibu kandung Laluna sendiri yang mendamprat tentang kematian Milly dan kondisi kakinya. Pelototan Cakra pada Amara serta-merta langsung menurunkan senyum Sonya. 

Laluna meneguk segelas air dingin yang baru saja disajikan pelayan setelah mengelap wajahnya, "Maaf, Ma... Luna bisa jelasin kok-"

"Mara!" potong Cakra dengan suara tegasnya yang jarang dikeluarkannya saat makan malam keluarga. "Perhatikan cara bicaramu!" tegur Cakra yang urat-uratnya sekitar pelipis sudah menegang. "Apa pantas membahas hal seperti itu di hadapan putri kita?!"

Sonya hanya bisa menggeleng frustrasi menatap kelakuan ayahnya. Rasanya, sudah lama sekali cewek itu tidak mendengar nada tegas ayahnya berkumandang di meja makan. Ah, iya betul beberapa bulan sebelum ibu kandungnya meninggal. Bulan-bulan penuh teriakan serta makian yang seakan menjadi lagu kebangsaan baru di rumahnya.

"Kamu tidak usah ikut campur saat aku sedang mendidik putriku, Mas!" balas Amara tanpa terlihat gentar sedikit pun oleh bentakan Cakra.

"Sialan, dia juga putriku!" balas Cakra kesal menunjukkan ekspresi bengisnya yang seketika meluruhkan topeng 'ayah termanis' yang selama ini dikenakan pria itu di hadapan Laluna. "Aku berhak membelanya, memarahinya, bahkan memukulinya!"

Luka Cita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang