43

471 32 23
                                    

Gue memandang kosong gundukan tanah dihadapan gue.

Gue bahkan masih gak percaya dengan apa yang gue lihat. Semua kejadian menyakitkan yang sekarang gue alami terlalu cepat, terlalu mendadak.

Walaupun berkali kali terngiang oleh perkataan bang Ciko tentang mengikhlaskan. Tapi nyatanya sakit di hati gue pun masih terus terasa.

"Harusnya gue sadar dari dulu kan Jer? Harusnya lo bisa tau gimana perasaan gue ke elo kan Jer?"

"Sekarang gue harus apa? Hati gue bener bener sesak, gue bahkan gak percaya lo ninggalin gue gini aja."

"I should have realized quickly that I love you."

"Ayo Nay pulang, mendung."

"Sebentar ya bang? Gue masih mau lebih lama lagi disini."

"Mendung Nay nanti hujan," bujuk bang Ciko sambil merengkuh pelan tubuh gue.

"Kenapa?" Gue mendongak untuk melihat bang Ciko.

"Kenapa gue harus ngerasain ini bang?"

"Karena lo kuat."

Gue menggeleng lemah. "Gue gak sekuat itu bang."

"Jeri pasti gak suka lihat lo kaya gini. Ayo kita pulang, lo butuh istirahat. Bahkan bunda sama ayah udah pulang dari tadi."

Gue menghela nafas. Lalu berdiri meninggalkan pemakaman.

Memasuki mobil bang Ciko gue hanya diam membisu sambil memandangi pandangan diluar.

"Jangan berlarut larut dalam sedih Kanaya. Kamu tetep bisa hidup setelah kejadian ini." Bang Ciko mengelus rambut gue pelan.

"Hidup dalam rasa sakit maksud lo bang?" Tepat saat gue membalas ucapan bang Ciko, mobil bang Ciko sampai di depan rumah gue.

"Nay! Jeri gak akan suka ngelihat kamu kaya gini!"

"Gue juga gak suka bang ditinggal Jeri dengan cara kaya gini!!" Gue menjerit. Menumpahkan semua rasa sakit yang dari semalam gue pendam.

"Jeri belum tau gimana perasaan gue, Jeri gak tau dia selama ini gua anggep apa dihidup gue. Terus pas gue sadar dia malah ninggalin gue kaya gini?!"

"Sakit bang, rasanya terlalu sakit." Tangis gue meluruh. Bang Ciko langsung mendekap tubuh gue.

"Dia tau Nay. Dia pasti tau, aku yakin itu."

"Di sana pun aku yakin Jeri mau kamu tetep bahagia, ada atau gak adanya dia di hidup kamu."

"Dia mau kamu tetep jalan ke depan, di masa depan nanti kamu harus yakin kalau akan nemu orang yang tepat."

Gue menggeleng sambil terkekeh kecil.

"Lo gak akan paham bang sama apa yang gue rasain, walaupun lo abangnya, lo juga ngerasain kehilangan. Tapi lo gak akan tau gimana rasa sakit gue."

Gue langsung melepas rengkuhan bang Ciko, keluar mobil tanpa mengucapkan sepatah kata apapun lagi.

Langkah gue terhenti di halaman rumah. Tiba tiba teringat bagaimana Jeri menyuruh gue naik sepeda di depannya karena sepeda gue rusak.

Perkataan Jeri tentang akan menyembuhkan hati gue juga kembali terngiang.

Bahkan gue dan Jeri belum memulai apapun.

Menggeleng, gue akhirnya memasuki rumah. Bunda dan ayah langsung menghampiri gue.

"Mau makan Nay?" Tanya bunda lembut.

"Kanaya mau ke kamar aja Bun, Kanaya capek."

Gue melangkahkan kaki dengan menahan tangis.

 Kanaya Story✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang