43. Amarah

483 25 7
                                    

~~~~•••~~~~

BANYAK orang tahu bagaimana sikap dan tingkah laku orang panik dan merasakan kekhawatiran. Dan inilah yang sedang Zahra rasakan saat ini. Selama perjalanan menuju kantor perasaannya tidak tenang.

Ia terus memikirkan Tiara yang kondisinya semakin kritis. Tapi ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Rencananya sore nanti Zahra akan pergi ke rumah sakit untuk menemani Tiara.

Karena ketersediaan biaya yang tidak mencukupi saat ini, Zahra tidak berani mengatakan bahwa Tiara harus mendapatkan perawatan yang terbaik sampai anak itu benar-benar sembuh.

Jika saja Zahra sedang ada rezeki lebih, ia tidak akan seperti ini. Bimbang. Ia tidak mungkin terus menghubungi Gadzi yang sejak dua hari yang lalu tidak ada kabar apa pun. Dan terakhir kali tadi malam ia kembali menghubungi Gadzi. Hasilnya tetap sama. Bahkan nomornya tidak aktif.

Berhusnudzan adalah cara Zahra agar ia tetap merasa tenang. Ia juga tidak mungkin meminta uang pada orang tuanya, walau pun nantinya Abi pasti memberinya.

Sesampainya di kantor ia bertemu kakaknya, Fahri. Sejak Fahri menikah keduanya sudah tak lagi berangkat menuju kantor bersama. Mengingat Fahri sudah memiliki rumah yang letaknya tak jauh dari perusahaan.

Melihat wajah gelisah Zahra, Fahri menghampiri sang adik. Kemudian menanyakan apa yang sedang terjadi. Tidak banyak yang Zahra ceritakan pasa kakaknya. Terutama masalah biaya perawatan Tiara. Ia hanya tidak ingin orang lain ikut merasakan seperti apa yang ia rasakan sekarang.

Hening sejenak.

Akhirnya Zahra memberanikan diri menanyakan keberadaan Gadzi pada Fahri yang kemungkinan besar tahu dimana Gadzi sekarang.

Fahri hanya berkata bahwa CEOnya bersama istrinya mengambil cuti selama dua hari untuk membantu seorang anak yang sedang mencari orang tuanya. Dan sampai sekarang pun Fahri belum mendapatkan kabar apa pun dari Gadzi.

Zahra sedikit merasa tenang. Setidaknya waktu cuti Gadzi masih digunakan untuk kegiatan kemanusiaan. Tapi pada nyatanya?

Memanglah tubuh Zahra berada di kantor tapi pikirannya masih tetap tertuju pada Tiara. Tak hentinya ia terus memanjatkan doa, memohon kesembuhan untuk gadis kecil itu.

Jam istirahat pun tidak ia gunakan untuk istirahat. Karena ia ingin pekerjaannya cepat selesai dan segera pergi ke rumah sakit. Ia menggunakan jam itu hanya untuk solat dhuhur saja.

Saat ia kembali berkutat dengan komputernya, tiba-tiba ponselnya berdering memunculkan nama Ibu panti di layarnya. Tidak ada basa-basi apa pun setelah salam. Bu panti langsung memberi tahu keadaan Tiara yang semakin melemah.

Ia meninggalkan pekerjaannya yang tinggal dua puluh persen lagi. Berlari menuju resepsionis. Setelah mengatakan ia ada kepentingan mendadak dan tidak bisa ditinggalkan ia kemudian pergi. Dan entah sore nanti akan kembali ke kantor atau tidak.

Ia terus berlari di lorong rumah sakit menuju ruangan Tiara dirawat. Sampai di depan pintu ruangan bernomor kosong lima dua itu, ia mendapati ibu panti dan beberapa teman komunitasnya yang juga dihubungi oleh Ibu panti. Mereka juga sudah mendonasikan sebagian rezekinya tapi tak seberapa.

Melihat kedatangan Zahra semua terdiam dengan mimik wajah yang sulit didefinisikan. Zahra menatap wajah mereka bergantian. Ruangan itu pintunya tertutup.

"Bu... Bagaimana Tiara?" Akhirnya Zahra menanyakan itu. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Bu Panti selain usapan lembut dibahunya dan gelengan pelan.

Zahra spontan membuka pintu ruangan dan melihat gadis kecil itu terbaring di bansalnya dengan tertutup kain di sekujur tubuhnya. Tiara sudah tiada.

Zahra merasa terpukul akan hal itu. Ia merasa gagal memperjuangkan kesembuhan Tiara. Tapi semua ini memang sudah ditakdirkan Allah.

"Maafkan Zahra, Bu."

"Tidak, Mbak. Bukan Mbak Zahra yang salah. Kematian memang tidak bisa dihindari oleh siapa pun," kata Ibu panti dengan masih berusaha tersenyum meski ia merasa sangat kehilangan salah satu anak asuhnya yang susah ia rawat selama lima tahun.

Tiara ditemukan Ibu panti di teras panti asuhan dengan keadaan masih merah. Tidak ada surat apa pun di dalam keranjang bayi itu. Sungguh malang nasibnya.

Tiba-tiba suara berat itu membuat kepala Zahra terangkat karena namanyalah yang disebut oleh pria itu.

"Ra... Siapa yang sakit?" Gadzi langsung bertanya kepada mereka yang ada di sana.

"Tiara... Sudah di panggil Allah," kata Bu panti yang membuat Gadzi dan Rheina tersentak.

Padahal sebelumnya tidak ada kabar apa pun dari panti terutama dari Zahra sebagai narahubung pihak panti kepada Gadzi.

"Kenapa kamu nggak kabarin aku, Ra?"

"Maaf, Kak. Zahra udah beberapa kali hubungi Kak Gadzi, tapi nggak ada jawaban sama sekali." Ucap Zahra dengan apa adanya dan sesuai kenyataan.

"Rhein?" Gadzi melirik istrinya.

"Nggak ada pesan dari kamu, Ra. Di hp ku juga nggak ada." Kalimat Rheina membuat Zahra menghembuskan nafas berat dan berusaha untuk tidak menangis.

Tentu saja Gadzi lebih mempercayai istrinya yang pada nyatanya Rheinalah yang berbohong.

"Lain kali kamu jangan seperti ini. Kamu jangan egois, Ra." Gadzi berkata itu dengan nada menekan. Meski pelan, Zahra sekilas melihat sorot mata Gadzi menyimpan amarah.

Zahra tidak bisa mengatakan apa-apa kalau Gadzi sudah begini. Mau bilang maaf pun ia tak berani. Ya, walau pun Gadzi tetap memaafkannya. Tapi tetap saja rasa bersalah menyelimuti diri Zahra.

~~~~•••~~~~

Rheina... kamu kenapa, sih?

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now