12. Whether it's Love? [2]

511 37 0
                                    

~~~~•••~~~~

TIDAK menutup kemungkinan bagi Rheina untuk mencari pengganti Doni. Tapi sejauh ini ia bingung dengan perasaannya. Apa ia harus menuruti kata hatinya itu. Tapi mana mungkin, Rheina dengannya berbeda. Toh, Rheina tahu gadis seperti apa yang pemuda tampan itu dambakan. Bukan seperti Rheina yang sama sekali tidak mengenal Islam.

Sejenak ia menghentikan aktivitasnya di depan layar laptop. Terlintas wajah Gadzi yang kharismatik itu. Senyuman mautnya pun enggan enyah dari benak Rheina. Meski ia berusaha menepisnya, tapi sulit baginya.

Lalu apa benar ia mulai memiliki perasaan yang lebih dalam pada sahabat barunya itu? Awalnya Rheina terkagum dengan Gadzi karena pesonanya yang natural. Tapi malam ini rasanya ada kupu-kupu yang berontak di dada Rheina setiap kali mengingatnya.

"Rhein, ayo makan malam!!!" Suara itu membuyarkan lamunan Rheina.

"Iya, Pa. Sebentar, Rhein beresin buku dulu," alibi yang sangat mudah di percaya. Bukan membereskan buku, karena tidak ada buku di depannya. Melainkan memandangi wajah tampan Gadzi yang sejak kapan tahu Rheina diam-diam menjepretnya menggunakan ponsel. Dan itu ia lakukan setiap kali bertemu Gadzi.

"Rhein!!!" Panggil Erik pada Rheina yang tak kunjung turun menuju ruang makan.

"Iya, Pa." katanya sambil berlari menuruni anak tangga.

"Telur dadar aja, Pa?" tanyanya setelah tahu hidangan makan malam yang hanya nasi, telur dadar dan kecap.

"Iya, seadanya ya. Kamu kan belum belanja,"

"Papa nggak kasih uang belanja buat Rheina soalnya, papa lupa? Em.....tapi yasudah deh, nggak papa. Mari makan!!" katanya bersemangat mengambilkan nasi untuk papanya.

Papanya menatap Rheina dengan senyum palsu yang menyembunyikan segudang kepahitan dalam hidupnya. Sejauh ini Erik tidak memberi tahu keadaan hidup mereka yang sekarang. Karena meski Erik hanya seorang Office Boy di perusahaan Gadzi, setiap pulang dan pergi Erik masih mengenakan jas kebesarannya dan mengendarai mobil yang dulunya ia gunakan untuk berkeliling kota menemui kliennya. Tapi kali ini berbeda. Bukan untuk pamer, melainkan untuk menyembunyikan keadaan pahit ini. Ia tidak ingin putrinya tahu sebelum putrinya selesai kuliah. Tidak ingin menambah beban Rheina yang sekarang sudah masuk tahap awal penyusunan skripsi.

"Oh, iya Pa. Maaf Rhein baru kasih tahu sekarang. Tadi ada surat pemberitahuan untuk segera melunasi pembayaran pendidikan Rhein semester akhir ini, untuk persiapan wisuda." Kalimat Rhein membuat papanya tersedak.

"Uhuk...uhuk..."

"Eh aduh, pa pelan-pelan, ini minum dulu, " Rheina menyodorkan segelas air putih pada papanya. Erik meraih dan meminumnya perlahan.

"Ehem....baiklah Rhein, berapa yang kamu butuhkan?"

"Lima belas juta Pa, untuk semester terakhir,"

Seketika hening sejenak. Erik memikirkan dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu. Uang tabungan di rekeningnya memiliki saldo nol rupiah. Saat ini bukan seperti dulu yang hanya sekedar menggesekkan kartu lalu uang sampai begitu saja di tangannya.

"Pa,"

"Baiklah, besok sepulang kerja papa siapkan,"

"Terima kasih, Pa. Ya sudah Rhein mau beresin ini dulu, habis itu lanjut ngetik lagi." Kata Rheina sambil tangannya meraih piring-piring kotor yang ada di meja.

Satu Shaf di Belakangmu [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang