16. Takdir dan Keinginannya, Bermain Peran

1.6K 138 3
                                    

"Jadi, sekarang kau tinggal di keluarga ibumu?"

Thalia mengangguk. Rambut hitam panjang dikuncir satu itu menggantung indah, membuat siapa pun terkesima dan iri. Rasa ingin menggenggam dan merasakan kehalusannya tidak terelakkan.

"Berarti kau sudah pindah dari kos?"

Lagi-lagi Thalia mengangguk atas pertanyaan Kayla sembari melahap baksonya. Teman sebangkunya itu asyik menatapnya dengan pandangan aneh.

"Wah, jadi yang mengantarmu tadi itu paman ipar atau bagaimana?"

Alis Thalia terangkat sebelah, "Paman ipar? Tadi pagi aku diantar paman kandungku, " balasnya.

"Kau tau tidak-"

"Tidak."

Kayla berdecak kesal. Melahap baksonya dengan raut wajah yang masam. Teman sebangkunya itu super kaku dan acuh tak acuh. Lihatlah sekarang, dengan watados-nya dia melanjutkan makan.

"Thalia, kurangi sedikit sifat kaku dan acuh tak acuhmu itu. Sifatmu membuat orang di sekitarmu jadi kesal dan super duper lola. Sepertinya orang-orang akan menyukaimu, jika kau ramah, ceria dan pemalu. Mirip sekali seperti Thania, " celetuk Kayla polos. Matanya melebar seketika, mulutnya keceplosan di depan orang yang salah.

"Ah, maaf. Aku bukan bermaksud untuk- "

"Iya, terima kasih atas kejujuranmu. Aku memang tidak sesempurna Thania yang dipuji orang. Tapi setidaknya aku hidup dengan karakteristikku sendiri, terlepas dari omongan orang." Thalia melahap habis baksonya. "Jika ada keluhan lagi kau bisa berkata jujur, Kay. Aku tidak keberatan dengan kritikanmu. Aku permisi dulu."

Setelah itu Thalia beranjak pergi, meninggalkan Kayla yang tergagap di tempatnya. Tidak banyak kata untuk mendefinisikan keadaan Kayla sekarang, gadis itu kalut.

Apa Thalia perlu menjadi Thania untuk hidup seperti apa yang orang inginkan? Tidak, Thalia tidak butuh hidup dengan cara orang lain. Dia punya cara sendiri yang memang cocok untuk dirinya. Masa bodoh dengan perkataan orang, dia nyaman dengan sifatnya.

Langkah panjang Thalia menuju kamar mandi sekolah, sebelah deretan kelas angkatan sebelas. Malangnya Thalia harus melewati koridor kelas sebelas atau ring basket pinggir lapangan sekolah. Kamar mandi di dekat daerah angkatan kelas sepuluh sedang direnovasi. Thalia terpaksa ke sana. Dia ingin membasuh wajahnya, ingin menyegarkan kepala dan pikirannya.

Di pertengahan koridor kelas XI IPS 2, Thalia mendengus pelan. Ada gerombolan anak basket di depan kelas tersebut. Satu orang yang paling Thalia hindari saat ini, fans Thania yang super bucin. Siapa lagi kalau bukan kak Aldo, ketua basket yang sebelas dua belas dengan Kak Alif.

Demi menghindari sekawanan anak-anak basket yang sedang nongkrong, Thalia memilih keluar dari koridor kelas sebelas menuju pinggir lapangan. Setidaknya dia tidak bertemu dengan ketua tim basket kebanggaan sekolah sekarang.

"Wih, ada Thalia. Apa kabar?"

"Tentunya baik, setelah membuat saudaranya masuk rumah sakit."

Tubuh Thalia berjengit, sepertinya dia tidak beruntung kali ini. Ada dua penggemar Thania yang sedang berkumpul, Aldo dan Alif. Gadis itu melirik kecil dari pinggir lapangan. Mata mereka berdua sangat jeli hingga memperhatikan dirinya yang bahkan sudah berada di pinggir lapangan.

Takdir Kita Berbeda Where stories live. Discover now