24. Faktanya, Membawa Emosi

1.7K 142 3
                                    

"Apa Nona suka dengan kuenya?"

Delisa menatap ragu Thalia yang mencicipi kue kering yang ia bawa. Raut Nonanya yang terkesan tegas membuat bulu kuduknya berdiri.

"Tidak terlalu, " balas Thalia memakan kue kering rasa cokelat, dia tidak terlalu suka dengan rasa cokelat. Perutnya pasti akan panas setelah ini.

"Ah, sa ... saya juga bawa kue kering rasa vanila. N-Nona pasti suka, " kata Delisa, segera membuka stoples kue kering rasa vanila berbentuk bulat.

Mata Thalia beralih menatap wajah Delisa yang ketakutan, apa dia semenakutkan itu? Padahal niatnya bukan hanya memakan kue ini, tapi ada hal lain yang perlu ia pastikan. Ketimbang tentang kue dan orang yang meracuninya, memar di pipi Delisa membuat pikirannya terpancing.

"Kamu tahu, Delisa?" celetuk Thalia tenang, sandaran punggungnya pada bantal terasa nyaman.

"Y-ya, Nona?" Delisa berbalik, menatap Nonanya heran.

"Aku pikir-pikir, di taman belakang rumah tidak ada batu berbentuk bunga seperti yang ada di pipimu. Hanya ada kursi panjang dan kolam ikan di sana, apa pipimu terbentur ujung batu kolam?"

Tubuh Delisa tersentak, wajahnya memucat seketika. Kenapa Nona Thalia tiba-tiba bertanya tentang memarnya? Dia tidak berpikiran jauh tentang Nona Thalia akan melihat dan bertanya pasal memar di pipinya.

"I ... Ini, saya memang terbentur batu di taman belakang. Sa ... Saya tidak melihat batu apa itu, ta ... tapi saya yakin jika saya terbentur batu, Nona, " jawab Delisa setengah terbata-bata.

Thalia tersenyum, menyampirkan anak rambutnya ke daun telinganya. "Apa ada batu yang berbentuk bunga seperti itu?"

Deg!


Jantung Delisa seolah berhenti memompa darah, tangannya gemetar tak terkendali. Senyuman Nona Thalia membuatnya meremang. Itu bukan senyuman hangat, namun senyuman mengerikan yang akan membuat mangsanya menciut di tempat.

"Sa ... Saya berkata jujur, No ... Nona. Saya ti ... tidak mungkin berbohong, "

"Aku tidak mengatakan dirimu berbohong, Delisa. Aku hanya bertanya, apa ada batu berbentuk bunga seperti itu?"


Sekakmat! Delisa terdiam, mulutnya kelu. Bola matanya menatap takut Thalia yang berjalan ke arahnya. Bibirnya bergetar, tangannya gemetar karena gugup setengah mati.

"Apa aku salah, jika bertanya tentang kondisimu? Tidak, bukan? Apalagi jika orang yang aku tanya sudah ambil bagian di keluarga ini." Thalia beralih menatap tegas dan tajam Delisa. "Aku tahu tidak ada batu berbentuk bunga dengan ukuran seperti ini. Apa kamu sedang mencoba berbohong padaku, Delisa?"

Seingat Thalia, memang tidak ada batu berbentuk bunga dengan ukuran kurang dari uang koin. Terlebih lagi memar di pipi Delisa terlihat jelas, seperti ditekan atau dihantam dengan keras hingga membekas. Bisa saja Delisa benar, jika dia terbentur batu, batu dengan ukuran kecil yang sengaja dihantam dengan sengaja.

Alis Thalia terangkat sebelah, dia menyadari sesuatu. Bisa saja ini memang batu, batu yang biasa menjadi aksesoris tambahan di perhiasan. Bisa saja ini cincin, bukan?

Jika memang dugaannya benar, lantas cincin siapa? Apa memar ini juga karena dipukul? Konyol jika dugaannya benar. Tidak mungkin ada orang nekat memukul pembantu di rumah, hingga membuat bekas jelas seperti ini. Ah, pasti dugaannya salah. Lagi pula tidak mungkin ada yang berani memukul pembantu di keluarga Atma Jaya.

Takdir Kita Berbeda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang