46. Sosoknya, Menghilang Ingin Istirahat

1K 73 3
                                    

       "Mau ke mana? Di luar masih gerimis, kalau Mas tahu. " Ningsih melirik Hendri yang berdiri dari duduknya.

       Sedari kemarin, Ningsih belum menyapa suaminya sama sekali. Bahkan, untuk meliriknya saja Ningsih tidak mau.


        "Ke rumah mama Arum, " balas Hendri sembari merapikan lengan kemejanya.

       Ningsih meletakkan minumannya, "Untuk apa?" tanyanya.

       "Untuk menjemput Thalia, pagi ini juga. Aku sudah memberitahu Thania tadi, dia akan ikut. Sebentar lagi dia turun."


       Di tempatnya Ningsih tertegun, aliran darahnya seakan berhenti. Suaminya akan menjemput Thalia pagi ini? Ini masih pagi, terlebih gerimis.

       Sebenarnya Ningsih tidak masalah suaminya akan membawa Thalia kembali, tapi dia khawatir akan terjadi sesuatu. Dia tidak ingin ada masalah lagi.


       "Kenapa?" Ningsih membenarkan posisi duduknya, sebelum menatap lekat mata suaminya.


      Tidak ada raut bercanda di wajah dan mata suaminya. Membuatnya yakin, jika dia akan menjemput Thalia pagi ini juga. Tapi, apa setelah Thalia datang ke rumah ini, kehidupan keluarganya akan baik-baik saja?

       Apa suaminya akan melaporkan kakaknya setelah Thalia pulang ke rumah? Apa Thania juga akan diberi kasih sayang oleh suaminya nanti setelah Thalia ada di sini? Dia takut, takut Thania akan bersikap naif seperti dirinya. Takut jika putrinya akan menyerahkan semua dengan percuma pada Thalia. Dia tidak mau itu.

       "Terserahmu saja. Aku hanya berharap yang terbaik saja. " Ningsih menghela nafas pelan, beranjak berdiri dari duduknya.

       "Iya, aku berniat membuat Thalia menjadi calon pemimpin keluarga Atma Jaya nantinya. " Hendri melirik Ningsih yang tersentak, menatapnya kaget.


      Ningsih menatap Hendri tidak habis pikir. Apa maksud dari laki-laki itu? Kemarin dia berbicara tidak ingin Thalia menjadi pemimpin keluarga Atma Jaya, dan sekarang? Apa maksudnya?


      "Apa maksudmu, Mas?" tanya Ningsih, menahan dadanya yang berkecamuk.

      Hendri tersenyum simpul. "Iya. Aku berpikir, jika Thalia cocok menempati posisi itu. Dia kuat, mandiri, pintar, dan juga dia angkuh. Cocok disebut sebagai pemimpin, bukan? Jujur, aku tidak mungkin memberikan posisi sebesar itu pada anak yang masih tidak bisa menentukan pilihan dalam hidupnya. Anak yang masih termakan simpati, polos dan malu. Tidak ada pemimpin seperti itu, Ningsih. Sayangnya, Thania memiliki sifat-sifat itu. Sifat yang bahkan tidak cocok disebut sebagai calon pemimpin. "

       "Kamu meragukan Thania, Mas?" tanya Ningsih. Nadanya kian meninggi.

      Menatap raut wajah Ningsih yang jauh dari kata tenang, membuat Hendri jadi menghela nafasnya. Dia salah kata. Tapi, memang itulah kenyataannya.


     Mungkin Ningsih akan memaklumi, jika suaminya tidak memberikan Thania posisi besar tersebut. Ningsih sangat tidak peduli dengan posisi memuakkan itu. Tapi, hatinya akan sakit hati, jika Hendri meragukan putrinya sendiri. Dia benci itu, dari kecil dia selalu berbicara, 'Kamu hebat, Sayang. Cobalah lagi, Mama yakin kamu bisa.

     Dan sekarang? Suaminya meragukan putrinya? Putri yang selama ini berusaha mengharumkan nama keluarga Atma Jaya, meski jauh di belakang namanya tidak ada nama keluarga Atma Jaya. Seorang putri dari pemimpin keluarga Atma Jaya yang bahkan tidak diinginkan kehadirannya.

Takdir Kita Berbeda Where stories live. Discover now