18. Kalian siap?

231 33 14
                                    

"ᴍᴀᴛᴀʜᴀʀɪ ᴍᴜʟᴀɪ ᴍᴇɴɢᴇʟᴜʜ ᴘᴇʀᴛᴀɴᴅᴀ ᴄᴀʜᴀʏᴀɴʏᴀ ᴀᴋᴀɴ sᴇɢᴇʀᴀ ᴋᴇʟᴜ."

____________

Bram menggendong tas besar yang berisi berbagai perbekalan setelah kemarin ia berkemas-kemas. Hari sudah mulai terang karena waktu telah hampir menunjukkan pukul enam pagi. Bram segera turun dan meminum segelas susu di atas meja, itu telah ia siapkan sebelum mandi tadi.

Tidak lupa Bram memakai sepatu hitam pekat miliknya, ia juga memakai kaos panjang berwarna hitam dengan celana warna senada. Tidak lupa ia memakai jaket berwarna coklat tua dengan hiasan bulu domba pada kerahnya.

"Namamu Bram, benar?" Tanya seorang berjas yang sudah berdiri di depan rumahnya. Bram mengangguk sembari tersenyum, "apa sudah waktunya berangk- akh!"

Penglihatan Bram langsung menggelap saat mendapat pukulan cukup keras pada belakang lehernya.

"Apa tidak masalah seperti ini?" Tanya seorang wanita berjas datang dari samping halaman rumah Bram.

Pria itu menggeleng. "Dia tidak boleh tahu bagaimana cara ia berangkat."

"Baiklah. Sekarang waktunya berangkat!" Ujar wanita itu lalu memejamkan matanya seakan memikirkan sesuatu, tiba-tiba saja sebuah tanda di telapak tangannya bersinar dan langsung memunculkan sebuah lingkaran berwarna biru gelap yang bertuliskan huruf-huruf di luar bahasa di dunia ini.

Di lain tempat dengan waktu yang sama, ada Poli dan Nike sedang sarapan bersama keluarga Poli. Barang bawaan sudah diletakkan tepat di samping pintu utama.

"Kalian tidak harus pergi juga. Ayah sudah cukup kaya untuk itu, Poli." Ayah Poli berujar dengan tatapan sedih. Sedang Ibu Poli tampak memaksakan senyuman sembari mengelus punggung suaminya.

"Jaminan apapun itu tidak kami perlukan, sayang. Asalkan kau tetap di sini, Ibu bisa memberikan apapun yang kau mau. Entah itu mobil, hak kelola restoran kakekmu, pindah sekolah, ataupun liburan keluar negeri, Ibu rasa semua itu bisa menjadi pilihan lebih baik daripada harus berpergian ke tempat entah-berentah itu."

Poli menghabiskan sarapannya dan menghela napas sebelum menjelaskan maksud keberangkatannya, "Ibu, Ayah, kita sudah sepakat dari dua hari lalu, kan? Apapun keputusanku Ayah dan Ibu bilang akan mendukungnya. Sekarang keputusanku adalah untuk pergi memenuhi undangan itu, lagipula ada Nike dan salah satu senior kami ikut pergi. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tentang keselamatanku, aku jamin kalau aku akan kembali. Nah, sekarang sudah hampir waktunya, kami pergi dulu. Poli pamit, sayang kalian berdua," ucap Poli mengecup pipi kedua orang tuanya dan memberikan kode pada Nike untuk segera pergi dari meja makan.

Suasana meja makan terasa suram pada pagi ini. "Nike, Paman tahu permintaan ini sedikit membebanimu. Tapi Paman sangat berharap kalau kau bisa menjadi garda terdepan saat Poli dalam bahaya. Kau tahu sendiri kalau Poli satu-satunya anak kami dan kami sangat menyayanginya."

Ayah Poli tersenyum usai mengatakan hal tersebut.

Nike mengangguk tanpa melihat Ayah sahabatnya itu. "Aku janji akan menjaga Poli dan memulangkan Poli dengan selamat tanpa cacat berlebihan."

"Tanpa cacat sedikitpun! Walau itu mustahil Bibi harap kau bisa memenuhinya, mengerti?"

"Aku mengerti. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampaikan salamku pada Papa dan Mama jika mereka sudah datang dari liburan bersama adik-adik," balas Nike langsung pergi menyusul Poli.

Ayah dan Ibu Poli menatap punggung lebar Nike dari belakang. Tidak ada tatapan sedih dari mereka, melainkan tatapan penuh rasa harapan.

"Kita tidak bisa mencegah dia karena dia adalah keturunan orang biadab itu," ujar Ayah Poli diangguki istrinya. "Dia menanggung akibat dari perbuatan leluhur yang bahkan ia tidak tahu," sambungnya menghela napas pelan.

Ibu Poli mengangguk dan melanjutkan makannya. "Tunggu, kau tidak lupa memberikan titipanku kepada Nike, kan?" Tanya Ibu Poli menatap suaminya ragu.

"Tentu saja tidak. Walau ia ditakdirkan menjadi garda bagi Poli, aku masih memikirkan keselamatannya. Kau tidak usah khawatir, beberapa waktu lalu pun aku sudah menghubungi pihak sebrang agar menuntun mereka dengan baik."

"Syukurlah. Nike sudah cukup menderita setelah dikucilkan oleh keluarganya hanya karena ia berbeda," ucap Ibu Poli mengkhawatirkan Nike.

"Nike anak pertama dengan kecerdasan diatas rata-rata. Dia memang menanggung beban berat setelah menjadi keturunan seorang yang biadab tanpa rasa tanggung jawab," balas Ayah Poli.

"Poli akan aman selama bersama Nike. Ya, jika rute yang mereka tempuh tidak berbeda dari zamanku dulu," sambungnya sembari tersenyum menatap sang istri.

_______sᴇᴄʀᴇᴛ________

Suasana bandara pagi hari ini sama dengan hari-hari biasanya. Ramai dan berisik. Tidak lupa disandingkan dengan suara riuh gemuruh hujan yang beberapa menit lalu mulai turun. Waktu pun sudah menunjukkan hampir setengah tujuh pagi.

Masih berada di parkiran bandara, Seth berulang kali mengecek notifikasi pada ponselnya saat ini. Penerbangan ke negara tetangga akan segera dimulai. Orang tua Seth berakhir memutuskan agar Seth melanjutkan sekolah di luar negeri saja agar kejadian serupa tidak terjadi padanya.

Tentu hal tersebut mendapat penolakan keras, belum lagi sekarang saudara tirinya sedang mendapat musibah. Selain itu, Veo juga belum kunjung sadar, apalagi Leviath yang belum juga dibebaskan sebagai tersangka.

Ditangannya terdapat benda hitam pekat dengan tulisan berwarna kuning keemasan. Terdapat juga pita pada bagian tengahnya, lebih mirip seperti undangan.

"Jangan percaya akan hal seperti itu. Ibu tidak mau kau berada dalam bahaya." Perkataan itu sudah cukup menghentikan niat Seth untuk pergi ke daerah bernama Dracnes Akademi itu.

Helaan napas terdengar panjang keluar dari mulutnya saat mendengar panggilan salah satu orang suruhan Ibunya jika pesawat yang mereka tumpangi akan segera lepas landas. Seth langsung mematikan ponselnya serta menyimpan ponselnya di tas kecil yang sedang ia pegang.

Seth menyeret koper besar miliknya dengan rasa enggan begitu memuncak. Walau hal ini adalah keputusan dari Ayah dan Ibu, tetap saja Seth tidak terima harus pergi dari negara kelahirannya ini, bahkan dalam keadaan harus menlanjutkan sekolah di negara lain. Ia rasa tidak sanggup.

Belum lagi kemarin Seth tidak sempat melihat keadaan Veo karena ia buru-buru menjalani operasi sebab kondisi tubuhnya sudah sangat tidak stabil. Cara paling tepat saat itu hanya operasi.

Lebih lucunya lagi, saat operasi Veo, satupun orang tuanya tidak hadir. Selain karena sedang menjalani sidang perceraian, orang tua Veo sepertinya memang tidak peduli pada nyawa anak mereka sendiri.

Itu sudah cukup menjadi dendam mendalam bagi Seth. Cukup sudah kakak Veo yang mereka dijadikan tumbal.

"Aish, bodoh! Bagaimana aku bisa pergi kalau tidak bisa tenang begini," ucap Seth mengusak rambutnya kasar.

Saat inilah Seth merasa bahu sampingnya ditarik dari samping. Setelah itu yang ia rasakan adalah rasa sakit luar biasa pada bagian pipi kanannya. Darah segar pun keluar dari sudut bibirnya.

Entah pukulan itu yang sangat keras ataupun karena tubuh Seth kurang sehat. Tapi yang pasti, hanya dalam sekali pukulan Seth langsung saja pingsan.













Bersambung....

Jangan lupa vote dan komen yya teman-teman🙏

Oh, ya! Setiap chapter terdapat banyak spoiler yaa. Jadi jangan sampai ketinggalan, ok?

Update setiap senin dan selasa alias dua kali seminggu.

SCHOOL SECRET | RevisiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora