🌙 7. Kepada Hati Yang Tercuri🌙

1.7K 395 85
                                    

"Ha-ha-haaa ...."

Tawa Raga refleks menggema saat Syabira menceritakan kisah tentang pertemuannya dan Arman. Syabira memandang lelaki itu dengan tatapan geram. Bibirnya mencebik. Apanya yang lucu? Atau Raga sengaja menertawakan kesialannya karena salah memilih calon suami? Lagipula bukan sepenuhnya salah Syabira. Awalnya dia hanya menurut saat Bang Fadli memaksa mengenalkan dengan kawan kerjanya dulu. Syabira iya-iya saja, dia malas berdebat. Sejak awal yang paling merecoki untuk segera menikah hanya Bang Fadli dan Mbak Dewi. Bang Antok kakak sulung sebaliknya, selalu menerima apapun keputusan adik bungsunya, selalu memberi support tanpa harus melukai perasaan Syabira. Seperti ayah dan ibu. Toh, urusan jodoh itu rahasia Allah, sama seperti rezeki dan juga kematian. Alif Lam Mim, artinya, hanya Allah yang tahu.

"Sorry, Sya. Saya tertawa. Kaget, tapi kocak juga," ucap Raga dengan tangan memegangi perut. Merasa apa yang dikisahkan Syabira terlalu konyol.

"Ketawa aja terus. Senang banget kayaknya, tertawa di atas penderitaan orang!"  Sinis Syabira.

Raga menggeleng, "Nggak, bukan mau nertawain kamu. Tapi, kok bisa kamu kenal dan terima lamaran Arman?" Bingung Raga.

Syabira tak acuh. Baginya yang lalu, ya sudah, biarkan berlalu. Jangan sampai terulang kembali. Memang sih, berkenalan dan menjalani proses ta'aruf dengan Arman waktu itu, Syabira merasa seakan penantian akan datangnya hilal jodoh akan berakhir. Nyatanya, kadang Allah hadirkan sesuatu yang pahit lebih dulu, untuk bisa lebih memaknai saat nanti yang manis ada dalam genggaman. Fitrahnya menang begitu, kan, yang pahit beriringan dengan manis. Karena hidup tidak sekadar ada tawa, tapi juga tangis.

"Bang Fadli yang ngebet nyuruh aku terima Arman," sahut Syabira lugas.

Raga ber-oh-ria saat mendengar pernyataan Syabira.
"Saya kira Arman pilihan kamu sendiri."

Syabira menggeleng, lantas  menyesap ice cappucino klepon yang dipesan. Matanya memicing karena rasa manis yang menurutnya over. Unik, itu alasan Syabira memesan minuman tersebut, karena perpaduan klepon, jajan pasar favoritnya dan kopi. Padahal tidak ada wujud klepon asli dalam minumannya, hanya saja racikannya terbuat dari kopi dan sirup rasa klepon.

Syabira usap sudut bibirnya dengan tisu sebelum menyahut kalimat Raga, "Hmm, benar mungkin kata kamu. Aku ini terlalu galak, sampai enggak ada laki-laki yang mau serius sama aku." Syabira hela napas berat. Jangankan serius. Yang mendekat lalu menyatakan cinta saja belum pernah dia temui. Kecuali Pak Dito - managernya di kantor. Dan, Syabira tidak berminat sama sekali dengan lelaki berperut buncit itu.

"Kamu mikirnya kejauhan." Raga menukas.

"Maksudnya?" Mata Syabira menatap penuh selidik.

"Di depan kamu persis ini." Ucapan Raga membuat Syabira memutar bola mata, jengah dengan kalimat yang terlalu banyak basa-basi.

"Apa?" Mata Syabira menajam.

Tadinya Raga ingin mengatakan, untuk apa mencari yang jauh, kalau di depanmu ada saya. Tetapi Hanya terucap dalam hati Raga.

"Nggak jadi, cuma candaan. Terus, kenapa dulu kamu bisa tiba-tiba pindah sekolah? Padahal garangnya begini, masa cuma gara-gara diganggu satu adik kelas tengil, jadi ciut nyalinya?" Raga benar-benar penasaran dengan yang satu ini. Kalau cuma karena keusialannya, rasanya tidak mungkin sampai membuat Syabira menjauh dan pindah sekolah.

Syabira bergeming, menatap awang-awang. Tiba-tiba ingatannya berputar lagi saat dia dan Raga masih duduk di bangku SMA. Gangguan Raga memang bukan satu-satunya alasan dia pindah. Ayah yang seorang pegawai BUMN memang dipindah tugaskan, makanya dia dan ibu ikut pindah, kecuali kakak-kakaknya yang telah menapaki jenjang kuliah saat itu.

"Gara-gara kamu, masih tanya lagi!" Garang Syabira. Sengaja tidak mau cerita yang sebenarnya. Yang ada nanti Raga akan menarik ucapan maafnya tadi.

"Saya sudah minta maaf, kamunya belum maafin?"

"Maafin, tapi belum seratus persen. Kita lihat aja nanti, kalau kamu masih suka seenaknya, aku enggak bakal maafin kamu dunia-akhirat," sahut Syabira.

Raga tertawa nyaring mendengarnya. Syabira selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya. Tidak perlu jaga imej atau pencitraan di depan laki-laki. Itu menambah nilai plus di mata Raga. Tidak banyak perempuan yang apa adanya saat berhadapan dengan lawan jenis. Menjadi dirinya sendiri tanpa perlu takut dinilai minus.

Malam makin menua, Raga melirik jam yang melingkari pergelangan tangan. Sudah lewat jam sepuluh malam, hampir setengah sebelas. Lelaki itu menyesap sisa minumannya kemudian mengajak Syabira kembali.

"Balik, Sya!" Ajaknya pada Syabira untuk segera beranjak.

Syabira menggeleng keras, "Aku masih betah di sini. Tempatnya enak, couzy dan nyaman. Apalagi view-nya wow banget." Mata Syabira mengedar memutari tiap sudut kafe yang berada di lantai sebelas itu. Kelap-kelip lampu Jakarta saat malam hari menjadi pemandangan utama di Langit Seduh. Sekudet itu ternyata dia selama ini. Sampai ada kafe sebagus ini di atas rooftop hotel di bilangan Jakarta saja dia tidak tahu.

Syabira juga heran dengan ayah, kenapa Raga yang notabene baru kenal dan bertemu ayah-ibu, tapi di-izinkan saat laki-laki itu mengatakan ingin mengajak Syabira keluar. Tanpa banyak pertimbangan pula.

Raga ulas senyum tipis, "Hmm, tempatnya memang enak. Kapan-kapan kita ke sini lagi, ya."

"Kita?" Delik Syabira. "Aku sendiri, tanpa kamu!" Imbuhnya garang.

"Masih garang aja, Sya. Bukannya kita udah temenan?"

Syabira tersenyum miring, "Jangan dikira gegara kamu udah ke rumah, udah makan malam bareng keluarga aku, udah beliin aku minum, udah minta maaf, terus otomatis kita jadi teman gitu? enggak, ya!" Syabira mendelik tajam. Dia berdiri, melangkah duluan dengan wajah sebal.

Raga sudah malas berdebat. Dia biarkan saja dulu sikap Syabira yang masih terus menolak dekat dengannya. Bisa berada di dekat gadis itu saja, sudah lebih dari cukup. Memandangnya dari jarak dekat merupakan penantian tak berujung yang akhirnya bisa terwujud sekarang ini.

Di dalam mobil Syabira mengunci mulutnya rapat-rapat. Tidak ada kata-kata yang keluar sejak Raga menyusul sampai mobil melaju menuju arah pulang. Pandangan Raga fokus ke arah jalanan di depannya. Hening merayapi. Hawa dingin dari AC mobil terasa menusuk tulang. Raga akhirnya melirik sekilas ke samping, Syabira menyandar pada jok dengan mata tertutup rapat serta kedua tangan bersedekap, seperti menghalau rasa dingin, mungkin. Dengkuran halus terdengar. Gadis galak itu tertidur pulas ternyata.

Raga menaikkan suhu AC, lalu menepi sejenak, dia meraih jaket yang ada di jok belakang. Kebetulan karena cuaca yang kadang tidak menentu, habis panas terik, bisa saja hujan mengguyur, makanya Raga selalu menyimpan jaket di mobilnya.
Raga menutupi badan Syabira dengan jaketnya, kemudian melajukan mobil kembali. Sepanjang sisa perjalanan Raga terus mengulas senyum di wajah tampannya. Tuhan baik sekali, mempertemukannya kembali dengan Syabira setelah belasan tahun berlalu. Bukankah tidak ada yang kebetulan di dunia ini? Pasti semua yang terjadi sudah digariskan Rabb-nya. Kepada dia yang diam-diam mencuri ketenangan hati Raga, dia berjanji kali ini tidak akan lagi menjauh meski Syabira menolaknya dekat sampai beribu kali pun. Raga akan bertahan dan memenangkan hati gadis galak itu.

🌻🌻🌻




Ada yang kangen Pakde Bayu?



Udah ada yang bisa nebak? Kira-kira konfliknya bakal kek apa nanti?

Tabik
Chan

HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)Where stories live. Discover now