🌙 18. Kepada Rasa Kehilangan 🌙

1.2K 353 89
                                    

"Tenang ya, jangan marah-marah lagi, jangan suka kesal. Kalau lagi sedih, lihatlah ke atas sana." Tangan Raga menunjuk atas petala. Syabira refleks ikut memandang langit. "Di langit yang kamu tatap, ada rasa cinta yang saya titip."

Kata-kata Raga terus saja memutar-mutar di otak Syabira. Ingin mengingkari atau bersikap tak acuh, malah justru sebaliknya. Semakin ingin tidak peduli, semakin Syabira tambah kepikiran tentang Raga dan semua ucapannya.

Melangkah gontai memasuki rumah, Syabira disambut ibu yang menunggu di teras depan. Mengucap salam dengan suara pelan dan menyalami ibu. Syabira kembali harus tercengang saat ibu memberondongnya dengan satu kalimat.

"Sya, ibu agak menyesalkan sama sikap kamu. Setidaknya kalau tidak suka, jangan jadi pembenci. Hargai ketulusan orang lain, Nak." Ibu langsung menodong Syabira dengan kalimat protes.

Nyeri. Perasaan Syabira terasa ditusuk jarum mendengar kalimat vonis ibu. Bukan sakit hati karena ucapannya, tapi karena kalimat ini seratus persen benar dan tepat sasaran. Syabira baru menyadari bahwa dia seegois itu. Setega itu pada Raga.

"Bu, biarkan Syabira masuk dan istirahat dulu. Kita bicarakan baik-baik sambil duduk." Bang Antok yang kebetulan lewat setelah menutup pagar menimpali. Ibu mengangguk setuju. Mengamit lengan Syabira, membimbingnya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Ibu buatkan minum ya, Syabira mau teh hangat?" Tawar Ibu. Syabira menggeleng. Tidak ada nafsu sama sekali, meski tenggorokannya terasa kering.

"Syabira sejahat itu ya, Bu?" Kaca membias di kedua mata Syabira saat berucap. Ibu menggeleng sembari tersenyum.

Duduk persis di sebelah putrinya, tangan ibu mengelus pelan lengan Syabira dengan lembut. Kedua kelopak matanya yang telah dihiasi keriput memancarkan kasih sayang tulus. "Syabira nggak jahat, kenapa bisa berpikir begitu, Nak?" Tanya ibu. Syabira terdiam dengan wajah mutlak menunduk.

Airmata rasanya sudah ingin lolos dari kelopaknya. Tenggorokan Syabira ikut nyeri, seperti disumpal sesuatu. "Sya sudah egois, nggak menghargai Raga, Bu."

"Bukan nggak menghargai, tapi ibu yakin Sya seperti itu pasti punya alasan tersendiri. Ibu nggak pernah mengajari anak-anak ibu buat jadi pembenci. Ibu tahu, Sya pernah marah sama Raga, tapi jangan menilai dari satu sisi, Nak. Masa lalu seseorang nggak bisa dijadikan tolok ukur ketulusannya, Nak." Suara ibu terdengar sangat bijak menasihati putrinya.

Syabira mengangguk dalam diamnya. Semua kalimat ibu meresap ke dalam isi kepalanya. "Ibu benar, aku baru merasa kalau sikapku sama Raga sangat nggak adil." Mata Syabira menyendu ketika berbicara.

Ibu tersenyum mendengar pengakuan Syabira. "Terkadang memang seperti itu, Sya. Allah sengaja membatukan hati seseorang agar bisa mengambil hikmah atas semua perilaku manusia itu sendiri."

"Maafin Syabira, Bu..."

"Bukan sama ibu, Nak. Minta maafnya sama Raga. Kasihan dia. Ibu memang baru sebentar mengenalnya, tapi ibu bisa melihat ketulusan sama keseriusannya untuk kamu. Buktinya dia berani minta izin langsung sama ayah dan kakak-kakakmu saat mau mendekati kamu, Sya." Kata-kata ibu semakin menohok batin Syabira. Rasanya seperti dijungkir balik oleh kenyataan. Syabira sudah tidak tahan. Lolos juga titik-titik bening dari kedua sudut matanya.

"Sudah, jangan ditangisi. Sya juga nggak salah, ibu paham perasaan anak ibu yang pernah gagal menjalin hubungan. Pasti tidak mudah bagi Sya secepat itu menerima laki-laki lain ke dalam hati." Syabira menyandarkan kepalanya di pangkuan ibu. Usapan lembut tangan ibu selalu terasa sangat menenangkan untuknya. "Syabira istirahat gih, sudah malam, nanti telat bangun sahur. Besok kalau sudah lebih tenang, Sya sempatkan minta maaf ya sama Raga. Meski tidak lagi dekat, jangan sampai hubungan kalian jadi buruk." Nasihat ibu dengan kata-kata lembutnya. Anggukan sang putri.

HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)Where stories live. Discover now