🌙 17. Kepada Rasa Yang Mulai Tertawan 🌙

1.1K 360 128
                                    


"Jawab saya, Sya. Lantas, jalan mana yang harus saya tapaki, jika jejak langkah saya selalu menggiring hati ini pada tepian perasaanmu?" Manik legam Raga menembus kedua retina Syabira saat laki-laki itu mengatakan sesuatu yang sangat serius. Matanya bahkan tidak berkedip selama beberapa detik. Syabira menganga, sejak kapan laki-laki menyebalkan di sebelahnya itu hobi menebar kata picisan?! Alih-alih terpesona, Syabira rasanya mau muntah mendengarnya.

"Apa mencintai itu sebuah dosa, Sya?" Raga masih mengambil alih pembicaraan. "Allah saja menitipkan rasa cinta-Nya pada tiap-tiap makhluk di segala penjuru bumi. Mahabbah Allah saja tak terbatas, sebesar dunia, seluas semesta, lalu kenapa kamu harus membatasi perasaan saya?" Lanjutnya terus meluapkan emosi. Bidikan matanya tidak teralih sedikit pun dari Syabira.

"Siapa kamu? Ada hak apa kamu melarang saya untuk mencintai?!" Kata-kata Raga penuh tendensi pada Syabira.

Syabira kesusahan menelan liurnya sendiri. Bak ada duri di kerongkongan ketika mencerna kalimat pengutaraan Raga barusan. Tidak bohong, ada dentuman jantung yang meletup-letup, berdetak tak normal sejak lelaki itu mencondongkan tubuh menghadapnya, ditambah aroma maskulin dari parfum yang terhidu Syabira, semakin menambah gugup. Tinggal menunggu benteng pertahanannya runtuh, Syabira akan mengibarkan bendera putih. Mengaku kalah. Hancur dan luluh lantak semua keangkuhan hati oleh sebuah keseriusan.

Tunggu dulu? Iya kalau Raga serius dengan ucapannya. Kalau laki-laki itu hanya sekadar bermain-main bagaimana? Syabira patut untuk waspada, kan?!

"Jawab saya, Syabira Arunika. Kalau kamu punya jawabannya, saya janji akan melakukan apa pun yang kamu mau ... termasuk menjauh dan tidak lagi mendekati kamu." Lugas dan penuh penekanan saat Raga mengatakannya. Syabira kelu. Tenggorokannya terasa seperti disumpal sesuatu. Menyakitkan, tapi harus dirasakan. Itulah kenyataan.

"T-tapi, mama kamu bilang kamu sudah dijodohkan dengan perempuan lain." Suara Syabira terdengar seperti sebuah cicitan anak tikus saat terjepit. Pelan dan penuh kesakitan. Wajahnya menunduk dalam, tidak berani menatap mata Raga.

Raga tersenyum miring, "Apa itu artinya kalau saya menolak perjodohan, kamu akan menerima saya?" Tanyanya dengan nada tegas.

Syabira menggeleng. Sampai detik ini dia pun belum tahu tentang perasaannya. Semua terlalu tiba-tiba. Raga terlalu terang-terangan menyatakan rasa cintanya. Syabira tidak tahu, apa benar dia juga rasakan hal sama, atau justru sebaliknya. Dia sangat belum siap. Namun, di sisi lain, dia juga mulai terbiasa dengan kehadiran Raga serta semua yang Raga berikan. Perhatiannya. Tatapan teduh dari kedua matanya. Senyum manisnya. Sikap jailnya....

"Diam dan gelengan kamu saya anggap sebagai jawaban, bahwa kamu lagi dan lagi menolak saya untuk kesekian kalinya. Terima kasih dan maaf untuk semua sikap saya selama ini. Mulai besok saya nggak akan ganggu kamu lagi, Sya." Lugas saat Raga berucap. Nada bicaranya melemah disertai tatapan mata memancar sendu.

Nyeri. Syabira tidak tahu kenapa batinnya terasa dicubit. Merasa kosong saat Raga menyatakan akan memyerah dan menjauh darinya. Tangan Raga terangkat, ingin mengusap lembut pucuk kepala Syabira yang tertutup pasmina-nya. "Untuk terakhir kalinya. Biarkan saya menyimpannya nanti dalam ingatan, bahwa kita pernah nggak berjarak." Raga tetap meminta izin, Syabira mengangguk pelan.

Mobil kembali melaju menuju arah pulang. Sepanjang perjalanan mata Syabira lebih asyik memindai pada jalanan di luar dari kaca mobil. Raga juga memilih fokus pada bentang aspal di depannya. Sunyi. Hening merayapi keduanya. Sampai mobil Raga berhenti di depan pagar rumah Syabira. Raga melepas sabuk pengamannya, ingin ikut turun. "Kamu mau ke mana?" Tanya Syabira.

"Mengembalikan lagi kamu sama ayah dan ibu," sahut Raga.

Kening Syabira bergelambir penuh pertanyaan. Raga yang paham segera menjelaskan, "Kemarin saat ingin mendekati kamu, saya sudah minta izin langsung pada ayah, ibu serta kakak-kakak kamu. Sekarang setelah saya tahu kamu menolak untuk dekat, saya hanya ingin menuntaskan tanggungjawab, menyerahkan kembali Syabira Arunika dalam keadaan utuh pada keluarganya." Kata-kata Raga sukses menambah nyeri hati Syabira. Dia tidak tahu dan menyadari bahwa begitu seriusnya seorang Raga padanya. Syabira tiba-tiba disergap rasa sesal dan bersalah. Ingin membalas ucapan Raga, tapi lidahnya terlanjur kaku.

Raga melangkah duluan meninggalkan Syabira yang masih berdiri di sisi mobil. Syabira amati terus dari tempatnya berdiri, Raga disambut Bang Antok yang langsung mengajaknya duduk di ruang tamu. Syabira tidak berani masuk. Dia takut mendengar kalimat penyerahan Raga. Kalau sudah begini, tidak ada lagi yang bisa disesali. Semua kalimat penyesalan pasti adanya di belakang.
Kenapa kemarin tidak mencoba bersikap lebih baik, kenapa tidak mencoba memberi kesempatan?
Kenapa sekarang rasanya seperti seseorang yang kehilangan?

Tidak lama, mungkin hanya lima menit Raga sudah keluar dari ruang tamu. Diantar ibu dan ayah sampai teras depan. Bahkan Syabira memindai ibu yang sedang mengelus pelan bahu Raga disertai gerakan bibirnya merapalkan sesuatu saat melepas lelaki itu. Syabira masih betah memaku di tempat. Dia ingin melihat Raga dari jarak dekat untuk terakhir kali sebelum besok semua sudah berubah.

Langkah Raga semakin mendekat pada Syabira. Lihat saja, sudah disakiti, dibuat kecewa sedemikian rupa tapi lelaki itu masih menyuguhkan senyum tulusnya pada Syabira. "Masuk gih, udah ditunggu sama ayah ibu itu," titahnya pada Syabira. Sontak gadis itu menggeleng. "Kenapa?" Tanya Raga. Suaranya masih terdengar lembut seperti biasanya saat berbicara dengan Syabira.

"Kamu duluan aja yang jalan. Aku ... Aku masih gerah, pengin di sini bentar." Alibi yang kurang sempurna. Syabira hanya ingin melihat Raga berlalu sebenarnya.

"Masuklah, Sya. Kamu jangan khawatir, mulai besok saya nggak akan ganggu-ganggu kamu lagi." Syabira tidak mengingkari kalau dia tidak suka mendengar kalimat Raga barusan. "Tenang ya, jangan marah-marah lagi, jangan suka kesal. Kalau lagi sedih, lihatlah ke atas sana." Tangan Raga menunjuk atas petala. Syabira reflek ikut memandang langit. "Di langit yang kamu tatap, pernah ada cinta yang saya titip."
Syabira terperangah, tak bisa berkata-kata. Raga mendadak jadi melankolis.

Raga berlalu usai berkata-kata, tetapi baru akan masuk mobil, lelaki itu berbalik arah. Kedua tangannya berjejak pada saku celana saat berhenti tepat di hadapan Syabira kembali. "Sya, jika mungkin nanti saya menerima perjodohan itu." Syabira sontak menatap mata Raga. Netra keduanya saling menumbuk. "Semoga kamu selalu bahagia," sambungnya kemudian benar-benar berlalu. Meninggalkan Syabira seorang diri dengan pelbagai kecamuk serta perang batin.

***

"Assalamualaikum, Ma." Raga memasuki rumah dengan langkah malas. Sang mama menyambut dengan kening berkerut. Tidak biasanya sang putra langkahnya kuyu begitu.

"Wa'alaikumussalam, kenapa, Ga? Mau mama buatkan teh?" Tawaran mama mendapat gelengan. Raga langsung ambruk membanting diri ke sofa. Sang mama mengikuti. Duduk percis di sebelah Raga.

"Ma, Raga ditolak lagi." Suara Raga seperti anak lima tahun yang sedang mengadu pada mamanya. Bukannya prihatin sang mama malah tertawa lebar. "Mama kenapa malah tertawa, senang sekali kayaknya lihat anak gantengnya patah hati?" Bibir Raga cemberut sempurna.

"Baru gitu saja sudah patah hati. Patah hati cuma buat orang yang punya komitmen. Memangnya kamu sudah ada hubungan apa sama dia?" Kalimat sang mama menohok batin Raga. Iya benar juga, dia dan Syabira tidak pernah ada komitmen apalagi ikrar apa pun.

"Lagian Mama juga kenapa iseng banget. Pakai bilang Raga mau dijodohin?" Protes Raga. Sang mama tertawa berderai.

"Sengaja. Mama cuma mau tahu, seperti apa gadis yang udah berhasil mengambil hati anaknya mama ini. Cemen atau nggak," jawab mama dengan santai. Raga tertawa pelan. Mamanya memang super jail.

"Tapi dia jadi salah paham, Ma."

Mama Raga mengusap rambut anaknya dengan penuh sayang. "Ingat rumus cinta ini, Ga, kalau jodoh enggak bakal lari ke mana, Nak," ucap sang mama. "Kamu ini mirip banget kayak papa waktu masih mudah dulu. Udah mama tolak ratusan kali, masih aja ngebet maunya cuma sama mama." Mama Raga tertawa saat berkisah tentang perjalanan cintanya dengan sang suami. "Papamu itu mahasiswa yang kepincut sama dosennya sendiri. Bucin akut sama mama." Raga menepuk kening. Ternyata sikapnya menurun langsung dari papanya.

"Tapi mama sama papa meski beda lima tahun, tua-an mama, kalian kelihatan serasi." Raga berkomentar.

"Karena kami saling memahami," sahut mama. "Percayalah, Ga. Cinta yang dewasa itu, nggak melulu bicara soal perasaan. Tetapi bagaimana saling memahami, saling memberi tanpa menuntut balas. Saling mengisi kekosongan." Mama mengulas senyum saat bercerita. Dari matanya terpancar sorot cinta, bukti bahwa beliau bahagia hidup bersama pilihannya.

🌻🌻🌻




Ada yang belum baca One More Chance?

Kisah Ibra- Anantari

Mau direpost?

HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)Onde histórias criam vida. Descubra agora