🌙 14. Kepada Rasa Yang Tidak Menentu 🌙

1.2K 332 123
                                    




"Nanti saya pijitin." Raga hanya bercanda. Mana mungkin memijit Syabira. Baru mendekat saja paling sudah kena gampar. Kalau boleh dikolerasikan, Syabira itu mirip paus putih. Lucu tapi sadisnya Masyaallah. Raga jadi senyum-senyum sendiri membayangkan si cute kalau sedang menumpahkan rasa sebalnya. Semakin dijuteki, semakin menjadi-jadi keusilan Ragantara Sadewa dibuatnya.

Dari tempatnya duduk Bang Antok menimpali, "Halalin dulu kalau mau main pijit-pijitan!" Abang yang shaleh dan taat ibadah. Sudah Syabira tebak akan mencuat juga kalimat itu dari mulut Bang Antok. Terbatuk-batuk adalah respons Syabira merasa kerongkongannya tersekat oleh kalimat skakmat si Abang.

Kedua tebing pipi gadis itu memerah mendengar kalimat yang ditujukan Bang Antok untuknya dan ... Raga. Matanya melirik tak suka pada Raga - yang saat ini malah menarik rahang kokohnya membentuk senyum tipis. Syabira jadi serasa diejek.

"Sudah, ayo sahur! Keburu imsak." Ibu menginterupsi. Tangannya sibuk mempereteli rantang berisi masakannya.  "Nak Raga, mau ikut sahur?" Tawarnya pada Raga. "Tapi jangan puasa dulu kalau belum kuat," sambung Ibu. Kata-katanya penuh kelembutan. Kadang Syabira merasa mempunyai ibu yang terlalu baik. Kemarin dengan Arman juga tidak ada amarah atau jelaga dendam di matanya. Sekarang membuka peluang bagi Raga.

"Insya Allah, saya kuat, Bu. Sudah jauh lebih baik, makanya infusnya juga saya lepas. Nggak nyaman banget kemana-mana bawa tiang infus." Raga terkekeh sendiri. Kalau ketahuan nakes palingan dapat ceramah sedikit, kenapa bisa lancang melepas selang infus tanpa persetujuan tenaga medis. Memang bukan Raga namanya kalau tidak nekat. Termasuk nekat mencintai Syabira dengan sepenuh hati, segenap jiwa dan seikhlas lautan. Halaah! 

"Iya, Raga jangan dipaksa kalau memang masih lemas badannya." Bang Antok menimpali seraya matanya mengabsen polah Raga yang duduk menyandar di kepala bed.

Semua orang terlihat mengkhawatirkan Raga. Syabira berdecih lirih. Sejak kapan laki-laki itu menjadi dekat dengan anggota keluarga-nya?! Lihat saja, Syabira malah dianggurkan, semua atensi justru tertuju pada Raga seorang.

"Mbak Hana gimana Bu? Kata Bang Fad semalam Mbak Hana sakit perut?" Syabira baru teringat kalau semalam Fadli mengatakan ingin pulang karena Mbak Hana terus menghubungi dan mengatakan sedang sakit perut.

Dahi ibu berkerut. Saling pandang dengan Bang Antok.
"Nggak, Sya. Kata siapa Hana sakit? Tadi waktu ibu pamit mau ke sini, Hana kelihatan baik dan sehat, lagi nyiapin sahur di rumah." Penjelasan ibu ciptakan cebikkan bibir Syabira. Apa mungkin itu cuma alasan Bang Fadli saja agar bisa melenggang pulang. Syabira akan protes nanti pada Bang Fad. Bisa-bisanya membiarkannya terjebak di sini bersama si Raga-Raga itu.

Raga ikut menikmati santap sahur yang dibawakan ibu. Beberapa kali Syabira menangkap decak kagum laki-laki itu saat memuji hasil olahan tangan ibu. Di antara itu, ada satu yang membuat Syabira menahan napas. Kedua mata Ragantara Sadewa menyiratkan binar cerah saat berbincang dengan anggota keluarganya. Manik legam milik Raga seolah menyiratkan kerinduan akan sosok keluarga. Mungkin karena terlalu lama hidup sendiri terpisah dari ayah ibunya. Syabira jadi berpikir, apa iya selama ini sikap tengilnya Raga hanya karena ingin mencari perhatian? Ta-tapi laki-laki itu bukan abege labil lagi. Usianya sudah menginjak 27 tahun, bukan lagi Raga belasan tahun yang dulu Syabira kenal.

"Sya, nambah lagi." Ibu menawari. Syabira mengangguk, langsung menciduk nasi untuk kedua kali. Saat berhadapan dengan makanan seperti ini Syabira menjadi perempuan yang sangat beruntung karena - makan banyak, tapi badan tetap terlihat kecil. Jaim bukan sifat Syabira. Selama dia suka dan mau, makan ya makan saja.

"Syabira memang keren, nggak ada rasa jaimnya sama sekali." Suara Raga menggema, mengomentari tindak tanduk Syabira yang baru saja menciduk nasi dan lauk. Syabira refleks melirik sekilas dengan bibir terangkat sebelah. Sinis. Alay. Gumamnya membatin mendengar panggilan Raga yang menatapnya keheranan. Memang kenapa kalau cewe makannya banyak? Salah gitu?

HILAL CINTA (TAMAT- Terbit Ebook)Where stories live. Discover now