50. Kefrustrasian Galih

16.6K 2.2K 111
                                    

Galih mengampiri Airin dan mengambil kembali ponselnya.

"Ririn, Tuan bilang apa?" tanya Galih penasaran. Dia sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi ekspresi di wajah Airin saat ini benar-benar mengkhawatirkan. Bahkan ada jejak air mata di pipinya.

Airin tersadar, lalu segera memasang senyum penuh misteri. "Biasa, masalah rumah tangga!" jawabnya.

Sekalipun Airin mengatakannya dengan nada biasa-biasa saja dan terkesan acuh, tapi melihat dari ekspresi Airin sebelumnya, Galih tahu ada yang tengah perempuan itu sembunyikan. Namun ini bukanlah ranahnya untuk tahu.

"Ya sudah, aku pergi dulu, Rin. Buahnya dihabisin, ya!"

"Hm," jawab Airin seraya melambaikan tangan.

Galih pun berlalu pergi.

Airin berdiri di tempatnya menatap pria suruhan suaminya itu. Kalau Galih pergi dan Airin ditinggalkan di sini sendirian lagi, Airin yakin perasaan yang saat ini melandanya semakin lama akan semakin menggerogotinya. Dia harus mencari pengalih perhatian. Maka dari itu, Airin pun memanggil Galih.

Galih menoleh ke belakang.

Airin berlari kecil menghampirinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Airin.

Galih memberi jeda sesaat sebelum menjawab, "Ke sawah, Rin. Mau ngawasin pekerja bersihin lahan bekas cabai yang gagal kemarin."

"Gagal? Karena hujan, ya?"

"Iya, tanahnya sampe tergenang air banyak banget."

Karena hujan lebat yang terjadi selama beberapa hari terakhir ini, hektaran tanah milik Sakha yang ditumbuhi oleh cabai dan bawang gagal panen. Itu adalah resiko yang harus ditanggungnya setiap kali musim hujan datang.

"Hm, gitu. Ya sudah, aku ikut!" kata Airin.

Tanpa pikir panjang, Galih menyahut tanpa pikir panjang. "Ya sudah, yuk!"

Airin tersenyum senang. Dia tidak perlu repot-repot mengganti pakaiannya karena di sawah nanti, dia juga akan bekerja. Mereka berdua pun melangkah pergi menuju mobil yang terparkir di halaman depan rumah utama.

Namun sebelum sampai di sana, Galih tiba-tiba menghentikan langkahnya, dia tersadar oleh sesuatu. "Tunggu! Gak boleh!"

Airin menaikkan sebelah alisnya.

"Tuan Sakha bakal mecat saya kalau sampe tahu Nyonya pergi ke sawah!"

"Nyonya? Siapa?" Airin menatap Galih semakin heran.

"Nyonya Airin, tentu saja," jawab Galih.

Airin tidak mengerti kenapa Galih tiba-tiba berbicara dengan sangat formal padanya. Namun secepat kilat Airin menepis hal itu. Dia mengibaskan tangan ke depan dan berkata, "Udalah! Biasa aja manggilnya. Yuk, kita pergi!" Airin melanjutkan langkah dan melewati Galih begitu saja.

Di belakang, Galih berjalan tergopoh menyusulnnya. "Gak bisa, Rin! Nanti Tuan marah kalau tahu!"

"Ya sudah jangan dikasih tahu. Ayo pergi!"

"Rin! Jangan durhaka sama suami, pamali!"

Langkah Airin yang baru saja hendak membuka pintu mobil terhenti. Dia berbalik dan menatap Galih. "Kemarin, sebelum pergi, aku sudah minta izin. Tuan membolehkan aku melakukan apa pun yang mau aku lakukan."

Setelah mendengar itu, barulah Galih menutup mulutnya dan tidak lagi memprotes.

Segera, mobil pun melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah, menuju sawah milik Sakha.

Tentang apa yang Airin bilang pada Galih itu, bukanlah sebuah kebohongan. Sakha benar-benar mengizinkannya. Tapi tentu saja dengan sedikit ancaman dari Airin. Tapi itu tidak penting, yang penting adalah dia sudah mendapat izin dari suaminya. Karena yang benar saja?! Airin bisa stress kalau dibiarkan mendekam di dalam paviliun dan rumah utama yang hanya diisi oleh pembantu dan penjaga itu. Beberapa hari tidak melakukan apapun selama masa pemulihannya dari sakit kemarin saja sudah membuat Airin hampir kehilangan akal.

ISTRI KEEMPATWhere stories live. Discover now