93. Pelukan Rindu

13.3K 2.4K 99
                                    

Seperti malam sebelumnya. Sakha masuk ke kamar dan mendapati Airin telah tertidur pulas.

Sekali lagi, dia menyesal karena pulang terlalu larut malam. Dia merindukan mata indah berwarna hitam kelam itu menatapnya. Dia rindu pada suara wanita itu berbicara padanya.

Sekarang semuanya sudah baik-baik saja bagi mereka. Dan Airin bertahan sampai akhir tanpa banyak protes. Mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal, pikir Sakha.

Perasaan bahagia menbuncah di dalam dadanya, membuat dia tidak bisa menahan diri untuk bergabung bersama Airin di atas ranjang dan memeluk istrinya itu erat.

Sakha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Airin, dan menghidu aromanya dalam-dalam lalu mengeluarkan suara seperti lirihan.

Mustahil Airin tidak terbangun dibuatnya.

Saat wanita itu membuka mata, dia terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Bahkan bernapas pun dia takut, takut kalau itu akan membuat Sakha menjauh darinya. Tapi dorongan untuk membalas pelukan itu benar-benar kuat. Sehingga dia pun melakukannya, dengan erat, dan nyaris menangis dibuat oleh perasaan rindu yang langsung membeludak.

Ada apa ini? Kenapa Sakha mendadak memeluknya seperti ini? Apa dia sudah memutuskan istri mana selanjutnya yang akan dia singkirkan?

Airin menjadi berharap lagi, sekaligus menyalahkan Sakha karena membuatnya begitu.

Ponsel di atas ranjang dilirik Airin dengan banyak tanda tanya, dan ia mendadak ingin menelepon Galih, menanyakan kelanjutan pemindahan barang di rumah utama. Apakah barang-barang Ria sudah dibawa keluar? Atau barang Airin? Atau tidak keduanya?

Kecupan panas di tulang selangka bahunya membuat Airin terkesiap. "Mas ...!"

Sakha tersentak. Dia langsung menjauh dan sadar apa yang sudah dia lakukan.

"Airin. Aku ... maafkan aku." Dia bangkit dari ranjang dan berdiri di atas lantai dengan canggung, menatap ke banyak arah kecuali perempuan di hadapannya.

Airin perlahan juga ikut bangun. Duduk dan mendongak menatap suaminya.

Setelah keduanya lama tenggelam dalam keheningan, Airin akhirnya membuka suara, "Kenapa Mas menghindariku?" Dia melihat tubuh pria itu langsung menegang, seolah menahan napas atas pertanyaan yang Airin lontarkan.

Tanpa menatap ke arahnya, Sakha menjawab, "Aku tidak menghindarimu."

Rasa sakit menusuk dada Airin, membuat matanya memanas oleh air mata yang siap tumpah. Bukan itu jawaban yang dia inginkan. Tapi harus bagaimana lagi?

"Apa karena aku sudah tidak berguna lagi?" lirihnya.

Sakha menatap Airin terkejut. "Apa katamu?"

"Anak yang selama ini Mas impi-impikan sudah tidak lagi ada. Aku mewajarkan Mas untuk marah dan mendiamiku selama beberapa saat. Tapi kalau terus-menerus, aku tidak tahan. Aku butuh kejelasan, Mas!"

Itu adalah ucapan terpanjang yang Airin ucapkan selama beberapa minggu ini. Sehingga Sakha menjadi tidak terlalu memperhatikan ucapannya. Dia fokus pada rasa rindunya pada suara itu. Dan tatapan Airin, yang walau diliputi amarah, tetap Sakha rindukan juga.

Tanpa bisa ditahan, Sakha mendekat dan langsung meraih kepala Airin ke arahnya, untuk kemudian mengecup bibir ranum yang sangat dia rindukan itu.

Rasa amarah, rindu, dan kasih sayang bercampur menjadi satu. Dia pikir Airin akan marah dan mendorongnya, tapi wanita itu justru menariknya mendekat juga membalas ciumannya.

Suara erangan tertahan lolos di antara bibir mereka yang menyatu. Saat Sakha menyadari napas Airin hampir habis dibuatnya, dia pun menjauh, menatap istrinya itu yang masih memejamkan mata dengan napas memburu tajam.

"Aku tidak pernah marah padamu, Airin. Kecelakaan itu adalah musibah. Aku bahkan tidak bisa marah pada takdir dan tidak diberi pilihan selain menerima apa yang sudah terjadi."

Air mata mengalir keluar dari kelopak mata Airin yang masih tertutup. Kenapa Sakha harus sebaik ini padanya?

"Tapi andai malam itu aku tidak pergi bersama Kak Nia, kemungkinan bayi kita masih ada di sini," lirih Airin.

Sakha ikut merasakan pilu saat mendengarnya. "Kalau menurutmu begitu, berarti ini juga adalah salahku. Aku seharusnya memberitahumu tentang semuanya. Bukan malah mengurungmu di rumah dan berekpektasi bahwa kamu akan diam saja."

Airin menggeleng. Malam itu, dia memang penasaran pada sesuatu yang sepertinya tengah Sakha sembunyikan darinya. Sehingga ketika Nia bilang bahwa dia ingin bicara, Airin sulit untuk menolak. Namun andai dia bisa lebih sabar menunggu Sakha pulang dan meminta penjelasan darinya, maka semua ini tidak akan terjadi.

"Aku benar-benar salah, Airin. Kupikir aku bisa menyelesaikan semuanya seorang diri, tapi aku malah mengacaukan banyak hal."

Airin membuka matanya yang telah basah oleh cairan bening. "Menyelesaikan apa?"

Sakha terdiam untuk beberapa saat, menatap mata kelam yang dia rindukan tengah berlinang air. Kemudian Sakha menjawab, "Rumah tangga kita."

"Untuk apa? Kenapa Mas lakukan itu?" Suara Airin terdengar tercekat.

"Bukankah sudah jelas?"

"Satu-satunya hal yang cukup jelas bagiku adalah bahwa Mas sudah tidak lagi menginginkanku."

Sakha mendesah putus asa. "Airin ...."

"Mas sudah menceraikan Kak Nia dan Kak Tia. Siapa selanjutnya? Aku?"

***

[To be continued]

ISTRI KEEMPATWhere stories live. Discover now