94. Karenamu

15.1K 2.6K 153
                                    

Gelengan kepala diberikan Sakha. Kepalanya mendadak terasa berat sehingga dia pun memajukan tubuhnya, dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Airin. Lalu berbisik, "Hanya kamu sekarang, Airin."

Tanda tanya besar menggantung dalam benak Airin. "Hanya aku? Maksud Mas, Kak Ria sudah ...."

"Ya, dia bukan istriku lagi."

"Ba-bagaimana? Bukankah Mas dengan orang tua Kak Ria ...."

Sakha terkekeh, ternyata Airin juga sudah tahu sejauh itu. "Aku pergi ke rumahnya. Dan berbicara dengan orang tuanya."

"Tapi bagaimana dengan perusahaan Mas?"

Sakha mendesah lelah lagi. Dia menarik Airin dekat dan memeluk tubuhnya. "Aku benar-benar merindukanmu, Airin."

Dorongan adalah yang diberikan Airin sebagai jawaban dari ungkapan rindu itu. Ini bukan saatnya untuk mereka bermesra-mesraan. Ada banyak hal yang belum Sakha jelaskan padanya.

Sakha menepis tangan Airin yang mencoba untuk mendorongnya terus menerus. "Bisa kita bicara seperti ini saja?" pintanya dengan nada memohon.

"Tapi ...." Airin tak bisa melanjutkan ucapannya karena dia sendiri pun merasa bahwa posisi ini pas bagi mereka. Sehingga dia tidak lagi mengatakan apa pun dan pasrah dalam pelukan sang suami.

"Airin," panggil Sakha lembut.

"Hm?"

"Kamu yang terakhir."

"Apa?! Maksud Mas, aku istri terakhir yang akan diceraikan?"

Tubuh Sakha menegang, lalu dia terbahak setelahnya dan melepas pelukan itu sesaat. "Maksudku, kamu wanita terakhir di hidupku. Tidak akan ada yang lain lagi."

"...."

"Kamu butuh kepastian, kan? Aku sudah mengatakannya dengan jelas."

Tidak. Itu tidak cukup jelas. Airin ingin mendengar yang lebih jelas dari ini. Dan lebih daripada itu, dia ingin Sakha menunjukkannya.

"Sudah. Kita sudahi saja pembahasan mengenai perceraian ini," kata Sakha. Lalu membawa Airin berbaring bersamanya.

Airin tampak tidak setuju. Tidak semudah itu menyudahi suatu perkara yang selama ini dianggapnya penting. "Bagaimana dengan hubungan kita?"

Sakha mengernyit. "Bagaimana apanya? Aku tetap suamimu dan kamu istriku."

"...."

Melihat kecemasan di raut wajah istrinya, Sakha tersenyum sedih. Sudah seberapa dalam dia menyakiti perempuan ini sehingga membuatnya ragu dan sulit mempercayai?

"Aku tidak pernah mengenal ibuku," kata Sakha tiba-tiba.

"Apa?" tanya Airin bingung, tapi kemudian dia segera tersadar dan mengulang responnya, "Benarkah?" Airin baru sadar bahwa Sakha tidak pernah mengungkit apa pun tentang ibunya. Galih sudah memberi tahu Airin bahwa Sakha sudah tidak memiliki orang tua, mengingat itu membuat Airin ingin memeluk pria ini lagi.

"Ayahku, adalah pria yang persis seperti yang kamu bayangkan aku sebelumnya," kata Sakha.

"...." Airin terdiam, terperangkap oleh rasa bersalah.

"Dia hanya peduli pada harta dan keturunan. Saat aku lahir, usianya sudah tidak lagi muda, dan aku melihatnya cemas setiap saat dengan sedikitnya waktu yang dia miliki untuk bersamaku. Dia mendidikku dengan keras, mengajarkanku banyak hal, termasuk di antaranya adalah mematikan perasaanku pada wanita.

"Jangan terlalu mudah bersimpati, katanya. Dan aku menurut. Semua yang ayahku ajarkan, aku turuti. Sampai dia meninggal, aku masih tidak tahu apa itu kasih sayang."

Dada Airin terasa berat karena tahu ke mana arah pembicaraan ini akan pergi. Sakha sangat jarang terbuka padanya, dan kali ini dia melakukannya. Airin ingin Sakha tahu bahwa dia ada di sana untuk mendengarkan.

"Saat aku tinggal dengan pamanku pun begitu. Dia pria yang serakah dan hampir sama seperti ayahku, keras dan sangat sulit dibantah. Namun, saat aku bertemu dengan Ferdinan, ayah Ria, untuk pertama kali aku tahu simpati itu apa. Dia membantuku pada banyak hal, sampai aku menganggapnya sudah seperti keluargaku sendiri. Dan aku berjanji suatu hari nanti, aku akan membalas perbuatannya. Jadi ketika dia menjodohkanku dengan putrinya, aku tidak bisa menolak.

"Aku juga memikirkan tentang keturunanku nanti. Aku tidak ingin berakhir seperti ayahku. Jadi pernikahan itu pernah jadi sebuah anugerah dan jalan keluar yang baik. Namun dua tahun berlalu, rasa cinta itu tidak juga muncul. Begitu pun dengan Ria. Dia perempuan yang terlalu acuh dan memiliki harga diri tinggi. Beberapa kali Ria sempat berselingkuh, tapi aku tetap menerimanya kembali, semata-mata karena kebaikan orang tuanya. Dan selama dua tahun itu, Ria juga tidak kunjung hamil. Kemudian aku memutuskan untuk menikahi Tia, yang merupakan anak dari sahabat dekat pamanku, kami dijodohkan. Lagi, aku tidak bisa menolak. Lalu Nia juga sama, keadaan yang mendesak membuatku juga tidak bisa menolaknya.

"Lama kelamaan, aku tidak sadar, saat hatiku menjadi mati rasa; kepada perempuan atau banyak hal yang ada di dunia. Aku menjalani semuanya semata-mata karena tanggung jawab saja.

"Ketika aku meminta Galih untuk melamarmu untukku, aku tidak mengharapkan apa pun. Satu-satunya yang aku mau hanya kamu melahirkan anakku. Selanjutnya, terserah kamu mau bagaimana."

Sakha mengeratkan pelukannya, takut kalau-kalau Airin akan pergi darinya setelah dia menceritakan semua ini.

"Bagaimana sekarang? Apa masih seperti itu?" tanya Airin lembut, suaranya terdengar serak oleh tangis.

***

[to be continued]
1 bab lagiiii 🤧

ISTRI KEEMPATWhere stories live. Discover now