1 | Mimpi

150 10 14
                                    

"Hati-hati dengan kalimat berulang yang kau yakini, karena kalimat itu dapat berubah menjadi doa dan mengubah hidupmu suatu hari nanti."
- Via -


Tubuh Via menggeliat dengan gelisah di atas kasur berukuran double dalam balutan selimut tipis berbahan katun. Butiran keringat mulai membasahi anak rambut yang menempel pada dahi, lalu menjalari pelipis dan meluncur melewati cuping telinga.

Padahal suhu ruangan seharusnya bisa membuatnya menggigil. Selain hujan yang mengguyur Surabaya sepanjang malam, pendingin ruangan yang ia nyalakan semenjak tiba tadi sore di sepetak kamar kosan itu masih menunjukkan angka delapan belas derajat Celsius.

Kelopak mata Via yang terpejam kembali berdenyut. Sesekali bola matanya bergerak-gerak, seiring gerakan kepala yang semakin gelisah. Lalu tanpa aba-aba, sebelah tangannya terulur menggapai udara, seperti hendak meraih sesuatu yang jauh dari jangkauan. Via meringis. Mulutnya terbuka seraya menggumamkan sesuatu.

Pada detik berikutnya, dalam sekali hentakan, seketika saja tubuhnya terhenyak, dengan seluruh jiwa yang seperti dipaksa masuk kembali ke dalam jasad. Ia membuka mata dan mendapati dirinya sudah bermandikan keringat.

Via mengerjap, lalu bergeming untuk waktu yang cukup lama. Setelah menyakinkan diri bahwa yang membuat hatinya nyeri hanyalah sebuah mimpi, ia mengelap wajah dengan sebelah tangan, sambil meredakan napas yang masih tersenggal. Kepalanya mendongak pada jam dinding yang praktis berada dalam garis pandang, sebelum bangkit duduk dan menenggak air dalam botol minum yang selalu ia siapkan di samping tempat tidur.

Namun, tidak ada yang dapat ia ingat dari mimpinya.

Via cercenung. Mimpi itu terasa nyata, bahkan masih meninggalkan sesak dalam dada. Namun, kenapa semua detail mimpi itu hilang seperti ditelan sepertiga malam tanpa menyisakan satu bagian pun dalam kepala?

Untungnya, seiring dengan bergulirnya sang waktu, Via berhasil melupakan misteri itu dan mulai tenggelam dalam rutinitas pagi. Ia tidak lagi memikirkannya saat membereskan tempat tidur, saat berada di dalam kamar mandi, saat menyiapkan sarapan, bahkan saat menyantap sarapannya seorang diri. Seolah mimpi itu tidak memiliki arti dan dampak apa-apa baginya. Seolah mimpi itu seremeh mimpinya yang lain. Hanya mampir sebagai bunga tidur.

Hal yang wajar jika seseorang tidak bisa mengingat mimpinya setelah ia terjaga, bukan? Via pernah beberapa kali mengalaminya, walau tidak di setiap kali ia bermimpi.

***

Perasaan Via menjadi tidak karuan tanpa sebab. Ada sesuatu yang mengganjal dan mengganggu pikirannya semenjak mendapat telepon dari Tian tadi malam. Padahal Tian hanya menghubunginya untuk menanyakan kabar. Tidak ada obrolan penting lain, karena laki-laki itu harus segera berkemas untuk penerbangan pulang ke Jakarta, setelah rapat dua hari yang panjang dengan salah satu kliennya di Pekan Baru.

Via terus terlarut dalam pikirannya, hingga ia baru menyadari jika tidak membawa payung untuk menghadapi pagi yang mendung, setelah tetesan hujan pertama mengenai kepalanya.

"Mbak, kamu baik-baik saja?" Itu komentar Nana yang dengan terang-terangan memandang Via dari atas kepala sampai ujung sepatu, saat mereka bertemu di depan pintu lift. Via mengibas bagian atas pakaiannya yang basah, karena tadi nekat menerjang gerimis yang tetesannya mendadak berubah menjadi besar di setengah perjalan terakhir. "Tadi jalan dari kosan nggak bawa payung?"

Via mengedik cuek.

"Sepandai-pandainya Mbak Via meramal cuaca, akhirnya kena hujan juga." Bagas yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka ikut berkomentar.

"Apaan, sih?" Via menahan tawa, lalu melangkah masuk ketika pintu lift di depan mereka terbuka. "Memangnya aku peramal?" Tangannya menekan tombol angka lima untuk mereka bertiga dan segera mundur supaya penumpang lift lainnya bisa menekan tombol lantai tujuan mereka.

Menalar IntuisiWhere stories live. Discover now