4 | Sahabat

113 14 3
                                    

"Meski sahabat merupakan cerminan dari kepribadian seseorang, hingga orang lain bisa menyimpulkan siapa orang tersebut dengan melihat sahabatnya, sejatinya setiap orang itu unik. Hati dan pikirannya tidak bisa disamakan."

- Via-


Via melirik jam yang melingkar di tangan sebelum mendorong pintu kaca, memastikan bahwa ia sudah terlambat dua puluh menit. Via mendesah sambil melangkah lesu, membayangkan bahwa hari ini pun akan dilalui dengan tidak sama mudahnya seperti kemarin. Namun, aromi kopi dan butter yang menyeruak dan segera menggoda indra penghidu, membuatnya sedikit merasa rileks.

Tadi pagi, tepatnya ketika Via mencoba memejamkan mata untuk meredam pusing di kepala karena hampir semalaman terjaga, telepon dari Nindy harus membuatnya kembali membuka mata. Dengan lugas, wanita keturunan Betawi campuran Makasar itu menyebutkan waktu dan tempat yang harus Via datangi.

Cukup lama gadis yang terobsesi dengan warna hitam dan putih itu berpikir, hingga akhirnya mengiakan untuk pergi. Via belum siap untuk diinterogasi. Kedua sahabatnya yang terlewat kepo itu pasti sudah mengendus kabar, walau sumbernya entah datang dari mana.

Kemungkinan itu sempat membuat Via malas menyingkirkan selimut yang membelit tubuhnya di atas kasur. Namun, mengingat Ibu yang bisa lebih mengerikan dari semalam, menghadapi dua sahabatnya terlihat akan menjadi lebih mudah.

Bukan Via ingin menghindari Ibu, belajar dari pengalaman, menghadapi Ibu dengan kondisi hati yang kurang baik hanya akan memperkeruh suasana. Setelah suasana hatinya menjadi lebih tenang, Ibu baru akan lebih mudah diajak berdiskusi dari hati ke hati.

Dugaan Via kali ini ternyata salah.

Ketika berpapasan dengan Ibu di depan kamar mandi, wanita itu sama sekali tidak mengomel. Awalnya Via bersyukur, tapi semakin Ibu terlihat tenang, semakin Via menjadi cemas. Kondisi Ibu yang seperti ini malah terasa asing baginya. Bukan Ibu yang Via kenal.

Tentu saja Via tidak bisa membandingkan kemarahan Ibu terhadap Alwi—adiknya—yang kedapatan merokok dengan kemarahan Ibu tadi malam. Ketika Alwi terciduk di bawah pohon kersen samping sungai bersama teman-temannya yang masih mengenakan seragam putih-abu, Ibu tidak berhenti mengomel selama dua hari dua malam seperti kaset rusak yang terus diputar dan ditambah tidak memberikan uang jajan Alwi selama dua minggu.

Walau tidak berharap akan diperlakukan sama, setidaknya Via ingin Ibu tetap menegurnya. Mendapati Ibu yang terus membisu sepanjang pagi juga membuat Via cemas, kalau-kalau Ibu sedang sakit. Padahal bagi Via, Ibu yang mengomel dan marah-marah akan jauh baik daripada yang diam dan mengacuhkannya seperti ini.

Via segera mengedarkan pandang. Kakinya sudah beberapa langkah meninggalkan pintu dan mulai melewati deretan kursi di sayap kanan kafe. SOETA terlihat ramai dengan anak muda seperti biasanya, terlebih di akhir pekan seperti sekarang ini. Menurut Via, selain menyuguhkan menu yang enak tapi ramah di kantong, interior kafe dengan 80% materail berbahan kayu juga membuat kafe ini terkesan unik.

Matanya teralihkan pada sebuah lambaian di sudut kanan, tidak jauh dari pot sepelukan orang dewasa yang dipenuhi lily putih yang menjadi pembatas koridor. Wajah Nindy tersenyum dari balik kaca mata, sementara Airin yang duduk di hadapannya seketika meloncat dari bangku kayu dan melotot ke arah Via.

"Gue nungguin dari tadi dan udah ngabisin dua botol air mineral sampe beser bolak-balik kamar mandi ini anak baru nongol." Airin mendelik lucu dan berhasil membuat senyum tipis di bibir Via mengembang. Kalimat Airin yang hampir selalu tanpa titik dan koma di saat kesal selalu bisa memancing tawa.

"Kapan nyampe?" tanya Nindy setelah mereka berpelukan dan cipika-cipiki seperti biasa. Nindy memanggil pelayan untuk membawakan buku menu supaya Via bisa segera memesan, ketika gadis itu duduk di sebelahnya.

Menalar IntuisiWhere stories live. Discover now