3 | Intuisi

161 21 5
                                    

"Saat keraguan menghalangi tabir antara kebenaran dan kebatilan, maka tanyakan hal itu pada nuranimu."
- Via -


Setelah mundur dari proyek apartemen dan menyerahkan urusan pengecekan lokasi kafe kepada Kemal, Via mulai melakukan pembicaraan mengenai konsep dasar secara online dengan klien barunya. Dari sekilas pembicaraan melalui surat dan konferensi elektronik, terbaca sudah bahwa proyeknya kali ini tidak akan berjalan dengan mudah.

Perfeksionis, inkonsisten, dan sibuk. Tiga kata itu dapat mewakili sosok Nyonya Satria, pemilik salah satu rumah mewah di Pakuwon City, yang akan Via hadapi selama dua bulan ke depan. Hal itu terbukti dalam pertemuan mereka hari ini.

Pertemuan yang telah disepakati sebelum makan siang, akhirnya mundur menjadi jam dua siang. Setelah menunggu sekurangnya empat puluh menit, akhirnya wanita yang berperawakan tinggi dengan tampilan modis dan wajah mengkilat itu datang.

Nyonya Satria beralasan bahwa ia tidak bisa menolak tawaran makan siang dari istri seorang pejabat yang menjadi pelanggan setia di klinik kecantikannya.

Selama diskusi sambil meninjau lokasi dan mendengarkan detail permintaan yang ia catat dalam bukunya, Via terus menimbang dalam hati apakah ia perlu menjadwalkan ulang penerbangannya ke Jakarta malam ini atau tidak.

Hingga pukul lima kurang delapan menit, Via masih belum bisa beranjak dari rumah yang akan didesainnya dengan memadukan konsep modern tropis dan industrial sesuai permintaan, karena tuan rumah masih bersemangat menjelaskan konsep untuk detail setiap ruangan yang ia inginkan kepadanya. Lima belas menit kemudian, barulah Via meminta diri untuk pamit dan berjanji akan segera mengirimkan sketsa dua dimensi yang ia simpulkan atas diskusi mereka.

Secara keseluruhan, sebenarnya Nyonya Satria ini hangat. Enak untuk diajak berdiskusi. Namun, karena permintaannya lugas dan cukup mendetail, anehnya hal itu membuat Via teringat dengan sosok ratu Elinor pada film Disney yang berjudul Brave.

Via tidak memiliki banyak waktu untuk kembali ke kosan atau kantor, sehingga memutuskan untuk membawa semua perlengkapan yang dibawa untuk survei lokasi dalam tas besarnya ke Jakarta.

Dalam taksi yang membawanya ke bandara, Via teringat akan obrolan beberapa hari lalunya saat makan siang bersama Nana.

"Dari gosip yang aku dengar dari divisi sebelah," ucap Nana setelah menyeruput es jeruknya. "Klien dari proyek "pesanan pusat" itu dari awal memang sudah memilih Mbak untuk menangani rumahnya, padahal Pak Kris sudah menolak baik-baik karena Mbak sedang terlibat dalam beberapa proyek."

Sebelah alis Via terangkat. "Kenapa?" pancingnya. "Di tempat kita, kan, ada dua senior designer yang portofolionya tidak diragukan lagi. Jadi tiga, kalau Kemal dimasukkan ke dalam daftar."

"Katanya karena desain Mbak itu berkarakter tanpa mengabaikan unsur feminin. Makanya, dia minta kalau rumahnya hanya dikerjakan satu orang, biar konsepnya tidak kacau."

Via meringis. "Tapi jatuhnya jadi penyiksaan kalau waktu yang diberikan sangat mepet."

"Makanya Pak Kris merasa agak kurang nyaman saat menyampaikannya di rapat itu." Nana kembali menyeruput kuah sotonya dengan penuh penghayatan. "Tapi kalau menurut aku, sih," kata Nana kemudian. "Ada pertimbangan lain yang membuat Pak Kris akhirnya setuju. Itu karena Mbak bisa mudah menebak keinginan klien." Via terkesiap saat Nana mengacungkan sendoknya. "Jadi, pekerjaan itu akan lebih cepat selesai kalau Mbak yang mengerjakannya. Begitu."

Gadis yang memiliki nama lengkap Hanin Ayu Andara yang entah kenapa dipanggil Nana itu tersenyum lebar, merasa bangga dengan asumsinya.

"Tapi yang paling penting dari semuanya," tambah Nana yang masih merasa belum puas. "Mbak itu bisa diandalkan, terutama dalam menyelesaikan masalah."

Menalar IntuisiOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz