2 | Hōmu Livin

87 9 4
                                    

"Setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Namun, menyesal seumur hidup untuk pilihan yang tidak berani kita ambil saat diberi kesempatan untuk melakukannya adalah tindakan yang bodoh."
- Via -


Kesepakatan yang ditawarkan Kemal membuat Via harus berurusan dengan berbagai kejengkelan yang bermunculan di kepalanya tentang laki-laki itu. Kemal menang telak karena posisi Via sebagai pihak yang meminta bantuan tidak memiliki banyak pilihan lain.

Tanpa mau disibukkan dengan pikiran lain—setelah pikiran-pikiran yang membuat harinya cukup melelahkan seharian kemarin—Via segera memutuskan untuk berbelok di sebuah toko outdoor di ujung jalan. Namun, setelah kotak kecil itu ia masukkan ke dalam tas, sekelumit penyesalan mulai menggodanya. Via mendengkus sebal sambil memandang tasnya, memikirkan seringai lebar yang akan muncul di wajah Kemal.

Via sudah membuang jauh pikiran-pikiran yang mengganggu konsentrasinya hari ini begitu tiba di ruangan yang ternyata masih lengang. Sebagian besar meja terlihat terlihat tidak berpenghuni karena banyak yang memilih untuk lembur tadi malam, seperti yang dilakukan Nana.

Alhasil, wanita berwajah ayu tetapi memiliki kebiasaan yang suka berbicara blak-blakan itu masih belum terlihat keberadaannya, hingga jam analog di sudut laptop Via nyaris mencetak angka 10:00. Sementara Bagas, menurut penuturan Hadi, tengah memiliki janji temu dengan salah satu kliennya.

Memang tidak ada jam masuk khusus di Hōmu Livin—perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa desain arsitektur, interior, dan konstruksi—ini, tapi sekalinya rapat dadakan digelar seperti kemarin pagi, semua karyawan dituntut untuk bisa standby.

Sebenarnya dengan datang ke kantor setiap senin pagi saja sudah cukup, untuk mengikuti rapat koordinasi atau brainstrorming. Sisanya, jam kerja bisa disesuaikan selama proyek dapat selesai tepat waktu dan memenuhi target. Namun, kondisi yang tidak terduga tetap saja mengharuskan semua karyawan untuk sigap datang ke kantor setiap saat. Oleh karena itu, bagi Via pribadi, lembur ataupun tidak, jam masuk kantor tidaklah melebihi jam sembilan pagi, kecuali jika ada jadwal temu dengan klien, vendor, atau kontraktor rekomendasi klien di luar kantor.

Kemal baru muncul dengan wajah mengantuk dan menyisakan beberapa kuap yang tidak repot-repot ia tutupi. Via beberapa kali mengangkat wajah dari sketsa dua dimensinya ketika laki-laki itu menghempaskan tubuh dengan malas di atas kursi yang berseberangan dengan kubikelnya.

"Baut di kepala kamu pagi ini lagi kurang kencang?" Itulah tanggapan Kemal yang membuat Via tidak bisa menahan diri untuk tidak mendelik ke arahnya. Via segera membaca mood tidak baik di wajah laki-laki itu. "Semalaman ngerjain revisian rendering tiga dimensi sampai nggak tidur," aku Kemal untuk menjawab tatapan menilai Via. "Setelah hasilnya dikirim, pemilik kliniknya ingin kembali ke konsep semula. Sama persis dengan sebelum revisi tadi malam."

Via menangkap kejengkelan dalam suara Kemal. Permintaan seperti itu bukan hal yang baru bagi mereka, walau rasa jengkelnya akan tetap terasa sama seperti kali pertama menghadapi klien seperti itu.

"Yang penting kerjaan kamu sudah selesai, kan?"

"Ya, tapi sayangnya ada yang nggak senang lihat aku santai hari ini." Satu sudut bibirnya mencuat, menyindir.

"Kamu sendiri yang mau terima. Aku, sih, nggak maksa. Kalau hadiahnya mau dibatalkan juga nggak masalah. Nggak usah merajuk!" Via tahu cara menghadapi Kemal mode menyebalkan seperti ini.

Tawa Kemal terlepas. "Aku udah pelajari gambar kerja dan detail catatannya." Suaranya kembali serius. "Kamu nggak akan menyesal karena udah minta tolong sama orang yang tepat, jadi kamu bisa pulang dengan tenang atau fokus dengan proyek baru."

Menalar IntuisiWhere stories live. Discover now