5 | Bastian

118 17 3
                                    

Bastian Wijaya. Laki-laki yang memiliki manik mata hitam dengan sorot tajam itu pertama kali datang ke dalam kehidupan Via saat tiga tahun yang lalu.

"Gue baru nyampe stasiun, nih, mau beli makan dulu. Laper," tukas Via pada Airin di sambungan teleponnya. Dia sudah berdiri mengantre di depan kasir untuk memesan Oden dan Ice Matcha Latte.

"Lo udah laper lagi?" Suara Airin terdengar mencibir.

"Pizza di perut gue tadi udah menguap selama di jalan." Via terkekeh, merasa geli sendiri.

"Dikira perut lo panci air panas? Pake nguap segala." Airin ikut terkekeh.

"Eh bentar, ya, gue mesen dulu." Via menurunkan ponselnya tanpa menutup sambungan telepon. Ia menyebutkan beberapa item Oden dan meminta untuk ditambahkan kuah pedas. Sambil menunggu petugas kasir menyiapkan minuman, tangannya segera merogoh tas untuk mengambil dompet.

Perasaan aneh bercampur keringat dingin seketika mendera. Via merasa tubuhnya seperti tersengat aliran listrik dan menegang. Tangannya kembali berusaha mencari, tapi hasilnya masih tetap nihil. Hingga isi tasnya hampir tercecer keluar karena ia mengaduknya dalam posisi horizontal, keberadaan dompet itu masih belum terlihat. Sadar akan usahanya yang sia-sia, Via memejamkan mata sejenak, lalu kembali menghadap petugas kasir.

"Maaf, Mbak." Via meringis saat petugas itu menatapnya sekilas dan kembali fokus menghitung pesanan yang harus Via bayar. "Dompet saya kayaknya ketinggalan. Ini mau minta tolong teman untuk antarkan. Jadi, belanjaan saya bisa ditunda dan dilanjutkan dengan pesanan lain?" Via melihat petugas itu sedikit terkejut. "Pasti saya bayar, kok," lanjutnya yang kemudian diangguki petugas. Via lantas menepi dan mempersilahkan pembeli di belakangnya untuk maju, lalu mengangguk pada sang kasir, "Terima kasih."

"Rin," panggil Via, "lo liat dompet gue, nggak?" tanyanya sambil menaikkan tangan dengan maksud menutupi area kosong antara ponsel dengan mulut, supaya suaranya tidak terlalu mencuri perhatian pengunjung lain yang sudah mulai memperperhatikannya semenjak mengaduk tas di depan kasir tadi.

"Apaan, dompet? Nah lo tadi naik Gojek sama masuk stasiun pake apa?"

"Tadi kan gue bayar pake Gopay. Masuk stasiun juga pake kartu yang biasa gue selip di casing HP. Seriusan. Lo liat dompet gue, nggak? Cariin, dong! Duh, gue malu nih dah mesen. Nggak enak kan kalau di-cancel. Mana gue tadi pesen kuahnya pedes." Via melirik petugas yang sudah sibuk melayani pesanan lain.

Tawa Airin membahana, membuat Via harus menjauhkan ponsel dari telinganya. "Lo jajan pake nggak ngecek dompet dulu? Malu-maluin, deh, lo!" Suara tawa di seberang telepon kembali terdengar. "Bentar! Gue cek dulu di meja," lanjutnya sambil tidak berhenti tertawa.

Via menunggu sambil menggigit bibirnya. "Buruan!"

"Ada, nih!" seru Airin yang diikuti binar terang di mata Via.

"Anterin ke sini, ya! Please! Gue nggak bisa keluar, takut disangkain mau kabur," bisik Via sambil mendekatkan mulut pada ponselnya.

"Tambah ngerjain gue lagi, lo!" Airin kembali terkekeh.

Via beringsut kembali menuju meja kasir. "Mbak, maaf, ya. Dompet saya baru mau diantar, paling tujuh menitan. Nggak apa-apa, ya?" Via merasa wajahnya sudah sudah seperti udang rebus. Merah, menahan malu.

"Pesanan Kakak udah dibayarin sama Kakak yang barusan." Petugas kasir itu menunjuk laki-laki yang baru saja meninggalkan minimarket. Senyumnya malah mengembang begitu melihat Via yang kebingungan.

"Sudah dibayarin?" Kepala Via mendadak blank.

"Iya. Sama Kakak yang barusan," jawabnya lagi. Wanita itu kembali menekuri mesin kasir dan melanjutkan aktivitas menghitung belanjaan wanita muda di hadapannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 30, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Menalar IntuisiWhere stories live. Discover now