🔘 Saksi Mata

276 53 7
                                    

Mata bulat itu menatap nanar langit-langit. Tak begitu cerah karena awan hitam sedikit menutupi langit malam ini. Kinasih mengembuskan napasnya kasar. Ia merindukan Enara.

Sore tadi selepas sidang sang sahabat, Enara pergi dari istana. Meski keadaan gadis itu tengah tidak baik-baik saja. Enara memaksakan diri untuk tersenyum pada Kinasih sebelum melepas pergi.

Kinasih memejamkan matanya erat, menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. Dingin, tapi Kinasih tak peduli. Enara pasti tengah kedinginan juga di luar sana, untuk itu ... Kinasih ingin merasakan apa yang Enara rasakan juga.

"Kinasih."

Mata yang semula memejam, kini terbuka sempurna. Kinasih yang namanya dipanggil pun lantas menoleh ke belakang, berdiri Pangeran Alaska dengan jarak kurang lebih satu meter darinya. Pangeran itu berjalan mendekat, menpersempit jarak antara ia dan Kinasih.

"Sedang apa kau di sini? Tak tidur?"

Kinasih hanya menggeleng lemah, ia kembali membalikkan badannya memunggungi Alaska dan menatap bintang-bintang yang tak begitu terlihat malam ini. "Aku rindu Enara."

Alaska menghela napasnya, ia berjalan semakin mendekat ke arah Kinasih, memeluknya dari belakang. Kinasih sempat terkejut dan ingin melepaskan pelukan itu. Namun, ia teringat satu hal bahwa statusnya saat ini adalah istri dari si pria ini.

"Aku tau," kata Alaska pelan. Suara berat nan serak itu dengan sopan masuk ke telinga Kinasih tanpa aba-aba, menggetarkan jantungnya dengan brutal. "Kau tenanglah, semua akan baik-baik saja."

Kinasih membalikkan badannya, membuat Alaska melepas pelukannya. Keduanya saling bertatapan, Kinasih yang tingginya lebih rendah dari Alaska lantas mendongak menatap sang suami.

"Bagaimana aku bisa tenang? Teman baikku tengah sendirian di luar sana. Bagaimana jika ia kedinginan? Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Bagaimana jika ada orang jahat yan—"

Tak tahan dengan bibir Kinasih yang terus mengoceh, Alaska membungkamnya, dengan bibirnya. Kinasih sempat membeku di tempat, jantungnya kini makin tidak tenang.

Bibir Alaska bergerak perlahan, menimbulkan sensasi berbeda pada Kinasih. Gadis itu perlahan memejamkan matanya, menikmati. Angin malam yang dingin seakan tak berarti apa-apa untuk mereka.

Sialnya, posisi mereka saat ini berada pada balkon kamar Alaska. Yang mana artinya bisa siapa pun melihat apa yang dua sejoli itu lakukan.

Kinasih yang sadar lantas buru-buru mendorong Alaska. Gadis itu bersemu merah, terlihat salah tingkah.

"A-aku mengantuk," ujar Kinasih tanpa menatap Alaska. Ia buru-buru lari ke dalam, masuk ke kamar dan menyembunyikan wajahnya di balik selimut.

Alaska sendiri hanya terdiam di tempatnya sembari terkekeh kecil, ia menyentuh bibirnya sendiri.

Dari kejauhan, Rezka memperhatikan apa yang Alaska dan Kinasih lakukan di depan balkon kamar pangeran itu. Ia lantas menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan memilih berlalu pergi, hendak kembali menguak kasus mengenai Enara.

***

Ecandra berjalan dengan gagahnya, mengangguk sesekali ketika para dayang menyapanya. Ia melirik ke sekitar, mengernyit bingung.

"Gadis itu di mana ya?" gumamnya bertanya.

Sibuk mencari-cari, dari jauh tempat Ecandra berdiri, Ratu Zemira memperhatikan tingkah aneh putranya itu. Beliau lantas berjalan mendekati Ecandra.

"Nak ...."

"Yak! Dasar Kuda Terban—eh, Ibunda. Salam, Ibunda." Ecandra menyengir kakuk.

Zemira hanya menatap putranya dengan senyum manisnya. Menggeleng pelan karena tingkah Ecandra.

Another World [Ending]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang