🔘 Mengikhlaskan

257 51 3
                                    

"Na."

"Ehm?" Enara yang dipanggil hanya berdeham. Saat ini dirinya sedang berdiri di samping Kinasih yang terduduk.

Mereka semua sedang menghadiri sidang bersama di dalam ruangan besar yang biasanya Raja Mahadava pakai untuk berdiskusi.

Raja Mahadava menatap tegas Alaska dan Rezka yang berdiri di hadapannya, agak jauh dari singgah sananya. Rahangnya yang keras sangat terlihat. Beliau tidak marah, hanya saja ego Raja Mahadava sedang naik-turun.

Beliau bingung. Mahadava percaya jika Rezka adalah putra pertamanya
Apalagi Ratu Zemira membawa langsung tabib dan juga Ibu angkat yang selama ini merawat Rezka ke hadapannya dan menjelaskan semuanya. Tapi disatu sisi, Mahadava sudah sangat percaya jika Alaska akan menjadi penerusnya.

Mahadava sendirilah yang telah mendidik Alaska agar menjadi Raja sepertinya. Dan dia percaya sepenuhnya akan tanggung jawab ini kepada Alaska.

"Aku tak keberatan jika Yang Mulia Raja tidak menjadikanku Pangeran Mahkota ... aku sudah sangat nyaman menjadi Kasim dan pimpinan polisi di istana ini," jelas Rezka sambil mencuri pandang ke arah Enara yang berdiri tidak tenang.

Gadis itu terlihat menekuk satu kakinya lalu berganti kakik yang lain. Mencoba untuk menghilangkan rasa pegal disalah satu kakinya, meskipun mustahil jika dirinya tidak duduk dan memijat sedikit kakinya.

Jika Enara tak ingin bersamanya, maka dirinya lah yang harus nekat mengikat Enara secara pasti. Rezka sangat ingin bersikap egois seperti itu. Tapi dirinya sadar, Rezka tak mungkin memaksa Enara untuk bersama jika gadis itu saja tak ingin bersamanya.

Mungkin berat menjalani apa yang seperti Enara katakan padanya kemarin. Tapi meskipun begitu, Rezka akan belajar. Belajar mengikhlaskan dan merelakan Enara kembali pulang ke dunianya tanpa harus dirinya bingung dan mencari keberadaan gadis pujaannya itu.

Selepas sidang berakhir dan keputusan sudah ditetapkan. Rezka segera keluar. Dirinya akan mencoba melupakan Enara dengan menghindari gadis itu. Sesusah apapun itu, akan Rezka lakukan demi kebahagiaan gadisnya.

Enara yang melihat tingkah laku Kasim Rezka hanya bisa mengerutkan keningnya bingung, kemudian mengangkat bahunya.

"Gue ke dapur dulu ya, Ki. Waktunya bikin teh buat Ratu Nerissa," pamit Enara dan berjalan keluar ruangan sidang.

Kinasih berdiri, saat dirinya ingin ikut keluar tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat suaminya yang berdiri tak jauh dari tempatnya saat ini.

Sebenarnya sejak kemarin-kemarin ada sesuatu yang sangat ingin Kinasih bahas bersama dengan Alaska. Tapi karena singkron yang tidak mendukung membuat Kinasih menunda-nunda.

Kinasih mengherankan napasnya kemudian berjalan mendekati Alaska dan mendongak menatap suaminya yang lebih tinggi beberapa sentimeter darinya.

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ujar Kinasih. "Tapi tidak sini. Aku ingin hanya kita berdua. Empat mata," lanjutnya yang langsung disetujui oleh Alaska.

***

Di sinilah Kinasih dan Alaska berada. Di dalam kamar mereka dengan jendela yang terbuka sepenuhnya, menampilkan taman belakang istana.

"Ada apa?" tanya Alaska menatap istrinya serius karena dilihat dari raut wajah Kinasih, gadis itu akan mengatakan sesuatu yang bukan candaan atau hanya obrolan ringan semata.

Kinasih yang tadinya menatap ke arah luar jendela membalikan badannya dan menatap Alaska lekat.

Jika Enara bisa melepaskan cintanya demi mereka kembali ke dunia asal mereka. Maka Kinasih juga pasti akan bisa melepaskan Alaska. Karena bagaimanapun mereka tak akan bisa bersama dalam waktu yang cukup lama.

Another World [Ending]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz