𝔻ℙ [37] || Dendam Queena 2.0.

89 25 3
                                    

^𝔻𝔼𝕍𝕀𝕃'𝕊 ℙ𝕌ℤℤ𝕃𝔼^

"Mengapa lo selalu bilang menuntut keadilan kalau kenyataannya ini adalah balas dendam!"


"Queesya Elzata," eja Dirgha.

Mendengarnya, sontak Gea terhenyak di tempat. Dengan secepat kilat, semua masalah dan teka-teki itu langsung terbesit di benaknya. Banyak poin yang ia dapatkan dari sederet nama itu.

"Apa yang mau lo omongin?" tanya Dirgha ketika melihat raut Gea yang sudah dilanda berbagai argumen.

"Kalau me—"

"Gue nggak nanya sama lo!" potong Dirgha saat Gea akan menjelaskan kalimat panjang lebar.

Sedangkan Gea tercengang, ah! Kalimat itu mengingatkannya saat kejadian di rumah sakit beberapa bulan lalu. "Gi'i nggik ninyi simi li!  Silahkan kalau anda mau bicara sama setan dulu. Saya sadar kok kalau saya nggak lebih penting darinya!" cibir Gea dengan kesal. Siap untuk merobek kertas kusam yang sulit didapatkan itu.

"Haha... sejak kapan sahabatku bisa ngomong gitu... uuu—cull sekaliii."

Kini Gea dibuat tersendat oleh suara samar itu. Ia tahu siapa si pemilik suara. Memang, ia tidak bisa mendengar suara gaib saat pikirannya tidak termanipulasi. Namun entah mengapa ia tetap bisa mendengar suara arwah Queena saat kondisi apapun. Walaupun masih terdengar samar dan kurang jelas, namun sebisa mungkin ia bisa menangkap maksud Queena.

"Nggak git—"

"Dia bisa ngomong apa saja saat sama gue. Jadi maklumi!" potong Dirgha yang lagi-lagi mendapat pendelikan tajam dari Gea. Entahlah, mengapa dia suka sekali memotong pembicaraan orang! Apakah ia belum diajari untuk menghargai pendapat orang lain?

"Oke lupakan kalimat tadi! Jadi teruskan saja perundingan ini!" sela Gea.

"Apa yang mau lo omongin?" Dirgha mengulangi pertanyaannya.

"Jangan benci diaa..." parau Queena.

"Tapi dia yang membunuh kamu dan papamu di lorong keramat itu. Bukan itu juga, dia menjadikanku sebagai kambing hitam," sela Gea. Merasa tidak setuju dengan usul Queena yang menurutnya terlalu baik.

"Tapi..." Entah apa yang ingin Queena katakan. Namun, kerongkongannya serasa tersendat untuk sekedar melanjutkan kalimat itu. Ah, ia lupa kalau sekarang air liurnya sudah semakin mengering semenjak kematiannya.

Tentu saja hal itu membuat Dirgha merasa telah mendapatkan lowongan untuk angkat bicara. "Dia juga yang udah bikin hidup gue hancur!" tambah Dirgha. Melepaskan unek-unek yang selama ini ia pendam.

Queena terkekeh, "munafik lo bisa banget Dhir. Lo masih nggak ikhlas kalau dia pergi?"

Mendengar pertanyaan itu bahkan membuat Dirgha bukan hanya ingin terkekeh. Kalau pun bisa, ia ingin tertawa nyaring. Namun ia masih waras untuk sekedar mengingat dimana posisinya sekarang. Sebenarnya ia ingin berlari dan mencari sumur untuk menggemakan suaranya. Kalau perlu sekalian nyebur. Biar semuanya juga ikut tertawa melihat nasibnya. Dan jadilah pesta tawa yang meriah!

Benar saja, Dirgha hanya menahan tawanya. Lagian ia juga malas mencari sumur. Kalaupun nemu, palingan langsung ada hantu penunggu sumur yang tiba-tiba mendorongnya. Kalau gini mah, belum sempat menggemakan tawanya saja ia sudah nyebur. Dan tinggalah para hantu yang tertawa karena setelah mati ia juga akan menjadi bagian dari penunggu sumur itu.

DEVIL'S PUZZLE✔️ [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora