|04| Kopi Darat

997 135 2
                                    

.
.
.

|04|

Kopi Darat

Tidak ada yang namanya kebetulan. Awalnya, memang aku percaya dengan kalimat itu. Namun, rasa-rasanya dunia sedang mengajakku bercanda dengan mempertemukanku dengan pria yang sama pada momen yang sama pula. Yaitu, saat aku menyeruduk tubuhnya dan selalu berakhir memalukan!

Damar Dipta Adirama. Seorang arsitek muda, yang tak lain dan tak bukan adalah putra pertama keluarga Brawijaya. Jika Dirga sosok bocah yang hiperaktif, maka pria ini sosok yang lumayan tertutup meski sedikit nyinyir dengan seringaiannya yang menyebalkan.

Fix, klop sudah kedua kakak-beradik aneh itu!

Aku kembali untuk mengajari Dirga hari berikutnya. Betapa kagetnya saat melihat bukan Bu Wintang yang menemani Dirga belajar, melainkan Damar yang saat itu tampak santai membaca buku, duduk di sofa minimalis di kamar adiknya.

"Ngapain disini?" spontan, kata-kata itu yang terlontar dari bibirku.

Dia mendongak, mengernyit heran, "Lupa ini rumah siapa?" tanyanya balik, lalu kembali menatap muka buku.

"Biasanya kan Bu Wintang yang nemenin."

"Kalau gue kenapa? Nggak suka?"

Kurapatkan bibir membentuk garis lurus. Sabar...sabar...

Kujatuhkan tas di lantai lalu duduk bersila di atas karpet.

"Gue guru privatnya Dirga, penting buat tahu siapa aja orang di sekitar Dirga waktu dia belajar."

"Gue kakaknya Dirga. Penting buat mengawasi gimana kemampuan guru privat adik gue," balasnya.

Skakmat! Oke, tidak ada artinya berdebat dengannya hanya karena persoalan kecil. Peduli setan dengan kehadiranya. Mau jungkir balik, salto, guling-guling disini pun itu juga hak dia.

Kini, aku beralih menatap anak di depanku. Masih sama. Dia tetap sibuk dengan dunianya. Kali ini robot-robotan Transformers.

"Dirga," aku tersenyum ramah memanggilnya. "Yuk, buku IPA dibuka, terus mainannya disimpan dulu."

"I'm Op-ti-mus Prime,"

Mataku menyipit. Mendesah putus asa melihat Dirga lebih asyik dengan mainan di depannya sambil berisik menirukan suara robot.

"Dirga, kata mama kamu pengin jadi anak pintar ya? Kalau mau pintar, sekarang belajar ya sama Mbak Yian," aku tak patah semangat membujuknya.

Kubuka buku paket di depannya. Menunjukkan chapter yang akan ku bahas. "Dirga udah tahu nama-nama hewan mamalia, kan?" aku mendongak, "kalau mamalia itu artinya...."

"Bzttt...bzttt..bszttt," gumam Dirga kembali memainkan robot-robotannya. Acuh pada perkataanku.

Ingin sekali aku menjerit. HIHHHHHHHH!!!! ANAK SIAPA SIHHHH KAMU, GAAAA!

"Dirga," panggil ku untuk menarik perhatiannya. Namun, tampaknya sia-sia karena bocah itu masih asyik dengan dunianya.

Pasrah, kujatuhkan kepalaku di atas meja. Tanganku terkepal kuat, menahan kesal dan hanya mengetuk meja tak sabar. Aku bisa gila lama-lama. Bayangkan setiap hari diriku harus berhadapan dengan bocah ini. Mungkin mulai saat ini aku harus mendaftarkan diri untuk berkonsultasi sebagai pasien bu Wintang atau ikut yoga saja di ruangan meditasinya!

"Astagfirullahalazimmmm," kuusap wajah frustrasi, "Dirgaaa, belajar yang serius dong!!"

Suara tawa kecil mengalihkan fokusku dari Dirga. Aku memutar kepala, memicing tajam kearah Damar yang puas menertawaiku sambil melipat tangan di dada. Angkuh.

Matchmaking! [Ganti Judul]Where stories live. Discover now