|11| Arsitek dam Kliennya

1.2K 188 25
                                    

.
.
.

|11|

Arsitek dan Kliennya

Les Dirga usai tak sampai satu setengah jam karena anak itu ngotot untuk tidur lebih awal. Aku yang merasa kasihan melihatnya tidak fokus dan terus mengucek mata, mau tak mau mengakhiri pertemuan hari ini dan memintanya langsung cuci tangan dan kaki, lalu tidur. Ini pasti efek kelelahan setelah pagi tadi Dirga mengikuti lomba taekwondo di SD-nya.

Aku hendak menyapa saat Tante Wintang muncul dari kamar di lantai satu, namun kuurungkan setelah melihat beliau duduk di sofa dengan ekspresi kebingungan. Sementara itu, ia meletakkan sembarangan setumpuk kertas tebal warna gold berukuran kartu pos di meja. Sesekali ia memijit kening, lalu menuliskan sesuatu pada lembar putih di pangkuannya.

"Duh, kurang berapa lagi ya?" gumamnya bertanya entah pada siapa.

Berinisiatif membantu, kucoba mendekat. "Ada yang bisa saya bantu?"

Beliau mendongak, "Oh, it's ok, Yi. Ini Tante cuma bingung sama daftar undangan," katanya, lalu mengambil satu undangan dan memberikannya padaku. "Kamu juga datang, ya?"

Aku menerimanya, lalu membaca sekilas. "Wedding anniversary?"

"Iya. Hari minggu besok. Bisa?"

Aku mengangguk.

Tante Wintang hanya balas tersenyum, lantas merapikan semua kertas undangannya. Beliau berdiri untuk mengantarku sampai depan rumah seperti biasa.

"Dirga sudah tidur?"

"Sudah. Kecapekan kayaknya. Daripada tidak fokus, saya akhiri lebih cepat."

"Nggak apa-apa. Kalau dipaksa nanti malah ngamuk," sahut tante Wintang santai.

Kumasukkan undangan ke dalam tas,  hendak pamit saat kami berdua sampai di samping Mini Cooper yang kupinjam dari Mbak Sita. Si Pinky sudah masuk rongsokan. Maka dari itu, sembari menunggu tabungan DP motor baru, aku harus merelakan diri menjadi supir pribadi dan tak lupa menjemput kakakku di kafe selepas kerja. Benar-benar cerdas akalnya untuk memanfaatkanku di waktu yang tepat.

"Kamu bawa mobil? Lucu, deh, warnanya," Bu Wintang mengulum senyum sembari mengusap kap mobil berwarna kuning nge-jreng itu.

Aku hanya meringis, mengingat sempat mengatai Mbak Sita norak karena memilih warna ini.

"Ah, iya. Pinjam kakak. Motor saya udah saya jual."

"Oh, gitu. Terus, kakakmu bagaimana?"

"Saya antar-jemput."

"Lain kali, kalau kamu nggak bawa kendaraan, biar diantar Damar saja," celetuk Tante Wintang, membuatku langsung meringis.

Mending gue naik ojol, deh!

"Ah, nggak perlu, Tante. Damar sepertinya sibuk sekali. Pasti capek sampai jam segini saja belum pulang," tolakku halus. Bukan apa-apa, tapi berbicang berdua saja dengan Damar kadang-kadang membuat urat-urat di kepalaku menegang semua.

"Ish," Tante Wintang mendesah pelan, "Dia itu memang gila kerja. Tante kadang khawatir sama kesehatannya sendiri. Dibilangin sampai mulut berbusa, pasti tidak akan didengar," ia berkeluh kesah.

"Apalagi, setelah putus sama mantannya. Damar semakin suka menyibukkan diri sampai larut malam. Udah nggak pernah pacaran, padahal beberapa kali tante paksa buat kenalan sama anak teman tante. Tapi, satu aja nggak ada yang berhasil! Haduh, bikin pusing dia itu!" lanjutnya lagi.

Matchmaking! [Ganti Judul]Where stories live. Discover now