|13| Wedding Anniversary

1.3K 173 22
                                    

.
.
.

|13|

Wedding Anniversary


"Happy Anniversary, Om, Tante," kuucapkan selamat pada kedua pasangan yang hari ini tampak menawan seperti raja dan ratu di tengah pesta. Keduanya berdiri menyapa tamu yang masuk.

Area taman dan kolam renang disulap menjadi tempat pesta berkonsep garden party. Mulutku sempat ternganga. Berdecak kagum begitu melihat lampu berpendar kerlap-kerlip, dihiasi pernak-pernik berupa kristal -- yang entah asli atau tiruan. Selain itu, terbentang karpet merah sepanjang jalan sampai dengan gazebo. Dipasangi kelambu warna putih, serta diterangi lilin-lilin kecil agar terkesan romantis.

Disamping itu semua, ada yang menjadi sorotan utama suatu pesta. Tidak lain adalah menu makanannya. Kudapan-kudapan itu berasal dari menu hotel bintang lima. Semua tampak mewah dan menggiurkan. Susunannya pun memperhatikan segi estetika. Aku yakin, harga satu potong chesse cake saja pasti bisa dibuat makan tiga hari.

Tante Wintang menyentuh sisi lenganku lembut. Ia tersenyum lebar, tampak sekali aura kebahagiaannya. "Thanks. I hope you enjoy the party, Dear."

Aku balas tersenyum, "Sure."

"Baru sekarang Om bertemu dengan kamu, Yian," Om Wijaya menyahut, lantas mengulurkan tangan besarnya padaku yang langsung kubalas dengan sopan. "Selamat datang, ya. Dinikmati makanannya."

"Dengan senang hati, Om," kataku tanpa malu-malu membuat pria tengah baya itu tertawa hingga membuat perut bulatnya bergetar.

Ini memang kali pertama aku melihat sosok Pak Brawijaya. Kesan sangar dan menyeramkan seperti yang digambarkan lewat ketegasan beliau pada putra-putranya, langsung luntur seketika dari benakku begitu bertemu. Pak Wijaya bertubuh tambun, berwajah ramah dan tentu saja terlihat sangat pintar dengan kepala plontos licin di bagian depan. Tingginya setara denganku, artinya lebih pendek dibanding istrinya yang memang tinggi dan langsing. Beliau mengingatkanku dengan Profesor Agasa di komik Detective Conan.

"Mama! Lihat aku dapat mobil-mobilan!" Seru Dirga sambil berlari.

Aku langsung jongkok. Segera kutangkap bocah itu sebelum nyungsep ke semak belukar. Dirga kadang tidak bisa mengendalikan kecepatannya sendiri, membuatku was-was kalau hiperaktifnya kumat.

"Eits, hati-hati, Ga. Jangan lari-larian," peringatku. Namun aku tahu Dirga tidak akan menggubrisnya.

Baik om dan tante spontan mengalihkan perhatian ke arah kami. Aku kembali berdiri, menepuk rok yang sedikit kotor ditempeli rumput basah.

"Mainan dari Mas Juna disimpan yang baik, ya. Jangan dilempar-lempar sampai rusak," sahut Tante Wintang mengingatkan.

"Mobilnya bagus. Nggak rusak tadi waktu Dirga banting."

"Sayang, dong, Ga, kalau bagus malah dibanting," kataku menyahut. Tidak habis pikir dengan polah anak ini. Bar-barnya itu, lho, tidak main-main.

"Nggak dibanting lagi. Tadi, Dirga, kan cuma penasaran, Mbak," jawab Dirga cengengesan.

"Om, Tante, selamat."

Suara seorang perempuan langsung membuat ku menoleh ke samping. Tubuhku kaku begitu melihat sepasang suami istri dengan warna busana senada tengah menyalami Tante Wintang dan Om Wijaya. Lolita berbincang akrab dengan Om dan Tante, sementara Danu memandangku sekilas sebelum ikut menyapa saat Lolita memperkenalkan dirinya sebagai suami.

"Ini suami Lita, Tante. Namanya Danu," Lita merangkul lengan Danu erat.

"Duh, Gantengnya. Pintar kamu cari suami, Ta," Puji Tante Wintang yang dibalas dengan tawa kecil.

Matchmaking! [Ganti Judul]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang