|01| I'm a Tutor

3.3K 254 9
                                    

.
.
.

|01|

I'm a Tutor


Dering ponsel menjerit memenuhi ruang dengan kebisingaan. Aku tersentak kaget, menepuk dada pelan lantas cepat-cepat meraih smartphone yang tergeletak di meja dan lupa ku mode diamkan.

Aku mendengus pelan seraya melempar benda pipih itu sembarangan usai menerima rentetan pertanyaan yang alhasil membuat kepalaku semakin pening. Lagi-lagi ada orang tua yang protes ini-itu karena anaknya salah menjawab pertanyaan ujian akhir semester. Kenapa pula curhat ke aku?

"Mamanya Eva?" Rara--teman satu kubikelku--bersuara. "Lagi?"

Aku menghela napas berat, lalu mengangguk.

"Iya lah. Siapa lagi orang tua yang demen banget miscall-in gue seminggu ini? Kayaknya telepon dari dia lebih banyak dari pada telepon nyokap!" gerutuku kembali memainkan pointer di layar.

Primadona languages and Sciences atau PLS, adalah sebuah lembaga bimbel yang sudah memiliki nama mentereng di kota ini. Peminatnya banyak dan kebanyakan berasal dari kalangan atas, mulai dari anak para pejabat, pengusaha hingga anak artis. Jadilah bimbel ini menjadi rekomendasi nomor satu dari para orang tua yang ingin anak-anaknya diterima di sekolah dan perguruan tinggi favorit. Jangan kaget melihat track record-nya. Banyak alumni berhasil memenangkan berbagai olimpiade sampai skala internasional, dan tak sedikit dari mereka yang melanjutkan sekolah ke luar negeri dengan beasiswa dari negara. Semua itu terbukti dengan berbagai macam penghargaan dari menteri pendidikan dan kebudayaan kepada PLS.

Disini mereka belajar seperti kerja rodi. Keras. Penuh kompetisi meski notabene-nya hanya lembaga pendidikan non-formal. Hanya sebatas kursusan mata pelajaran. Jika normalnya siswa hanya menghabiskan waktu 2 jam seminggu untuk paket reguler, berbeda untuk paket 'superior' dimana hampir setiap hari selama 5 hari.

Entahlah. Aku tidak tahu harus bangga atau malah miris melihat anak-anak dipaksa belajar begitu keras. Anak-anak SMU, SMP bahkan SD sebagian besar menghabiskan waktu setelah sekolah di tempat ini. Berdiskusi dengan para tutor hingga malam menjelang. Setidaknya seperti itulah dorongan sebagian besar orang tua yang ingin buah hatinya tak gentar untuk selalu menjadi nomor satu.

Aku, Yinyang panggil saja Yian. Mama memang suka sekali filosofi Yin dan Yang yang menggambarkan keseimbangan dalam hidup. Menjadi tutor di tempat ini bukan pekara gampang. Bebanku semakin berlipat karena UN semakin dekat. Bahkan aku bisa jamin, wali murid akan berbondong-bondong datang, protes padaku kalau sampai ada nilai 70 di lampiran kertas tryout! Well, bagi mereka sempurna hanya 100, 90 masih terampuni, 80 diambang batas, sedangkan 70 maka kamu harus belajar mati-matian.

Kalau 60?

Nilai mirip sampah!

Kuhentikan ketikanku pada keyboard, menyusun silabus sebagai kerangka materi yang akan kusampaikan nanti.

"Gila! Mereka yang UN, kok gue yang ikut puyeng!?"

Rara tertawa miris, "Ya, kita juga digaji dari uang mereka, Yi," katanya santai sambil mencorat-coret lembar jawab. Aku menghela napas berat.

Kuangkat tanganku keatas, melakukan peregangan. Membiarkan otot-otot lengan tertarik. Pegal sekali rasanya.

"Gue pengin kabur aja kalau ngajar anak kelas dua," keluhku.

"Kenapa?"

"Nggak bisa diam, berisik, jahil banget. Kadang gue yang dikerjain!"

"Maklumi saja. Mereka kan masih suka main."

Matchmaking! [Ganti Judul]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt