🌸|Mohon Beri Vote|🌸
"Sudah pulang kamu, Bas? Makan dulu sana! Tadi Bunda sudah gorengin tempe. Tambahin kecap kalau nggak mau makan nasi sama tempe doang," kata seorang wanita paruh baya tanpa melihat ke belakang.
Ia sibuk mengangkat jemuran. Telinganya hanya mendengar langkah kaki yang mendekat, ia pikir anaknya yang pulang.
Lastri penasaran. Seseorang yang berada di belakang tubuhnya tak menjawab. Menoleh, ia membeku melihat seraut wajah yang sudah lama tak ia lihat.
"Ardi," ucapnya lirih. Nyaris tak terdengar.
Lelaki yang berdiri dihadapannya memang anaknya. Anak kandungnya yang tak pernah menerima kasih sayangnya.
Rasanya, Lastri ingin menyongsong Ardi. Mendekapnya erat sang putra dalam pelukan. Namun, ia takut. Putranya itu tak sudi dipeluk ibu kejam sepertinya. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu betapa ia merindukan Ardi.
Sedikit pun tak pernah ada benci di hatinya untuk Ardi. Lastri juga seorang ibu yang mencintai anaknya. Jika ia membenci Ardi, sudah pasti Lastri akan langsung mengusir anaknya, sejak pertama kali suaminya membawanya pulang.
Ia hanya tak bisa melihat wajah Ardi terlalu lama. Bukan karena Ardi yang mirip mantan suaminya, tapi Lastri merasa gagal menjadi ibu ketika memandang wajah putranya. Wanita itu sadar Ardi merupakan korban keegoisannya di masa lalu.
Biarlah, selama ini semua orang bahkan Ardi sendiri berpikir bahwa ia membencinya. Lastri memang pantas dibenci. Seorang ibu yang menyampingkan putranya demi ambisi masa muda.
Semenjak Ardi pergi, ia selalu memikirkan anaknya itu. Kecemasannya menjadi - jadi. Lastri menyesal karena selama ini mengabaikan sang anak. Ia selalu berharap putranya itu baik - baik saja.
Sementara Ardi mematung. Ia ingin sekali memeluk ibunya, tapi ia takut akan ditolak. Ibunya terlihat jauh lebih tua dari terakhir kali bertemu.
"Ardi! Ardi! Kamu pulang, Nak," seru suara seseorang yang sangat Ardi rindukan terdengar beriringan dengan langkah kaki.
Belum sempat Ardi menjawab, tubuhnya sudah berada dalam pelukan ayahnya. Rasanya masih sehangat dulu. Pelukan pertama saat Ardi memanggil pria tua itu ayah.
Tanpa terasa matanya memanas. Ia teramat merindukan ayahnya. Pria baik hati yang sering mengelus rambutnya penuh kasih sayang.
"Kamu ke mana saja, Nak? Ayah cari - cari kamu. Kamu tinggal di mana? Apakah selama ini kamu makan dengan baik?" Pertanyaan beruntun penuh kekhawatiran yang terlontar dari ayahnya membuat dada Ardi sesak.
Ya Tuhan, rasanya berdosa sekali ia tak ada di samping ayahnya dalam masa - masa sulitnya. Betapa tak tau diri ia selama ini.
"Maaf, Yah. Maafkan Ardi," sesalnya.
"Sudah. Jangan menangis, Nak! Ayah nggak marah, justru ayah senang Ardi pulang," kata sang ayah penuh syukur.
Ardi menghapus air matanya. Ayah melepas pelukannya. Terlihat jelas ayah begitu senang menyambutnya.
"Ayo masuk, Nak! Masuk! Kamu harus makan, bunda udah masak," ucap ayah bahagia seraya merangkul pundak Ardi untuk masuk ke dalam rumah.
"Bun, siapin makanan!" serunya penuh semangat.
Sekarang, mereka sedang duduk di ruang tamu sekaligus ruang bersantai. Ada tikar plastik yang tergelar tanpa ada kursi dan meja. Lalu, ada satu kamar di sebelah tempat ia duduk. Ardi yakin kamar tersebut ditempati oleh ayah dan ibunya. Entah di mana Bastian tidur, mungkin di ruangan ini. Di depan kamar ada jalan yang hanya muat satu orang yang ia tahu menuju dapur, sebab Ardi dapat melihat bak plastik warna hitam untuk mencuci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selimut Cinta
General Fiction(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA) Ardi tahu hidupnya akan semakin sulit saat ia memutuskan pergi dari rumah. Namun, memilih tetap tinggal di rumah pun bukan keputusan yang benar menurutnya. Lalu, takdir mempertemukannya dengan Samayra. Gadis muda yang t...