Bagian 14

2.1K 222 3
                                    

🌸|Mohon Beri Vote|🌸

Ardi berjalan pelan menuju ke arah ayahnya yang sedang berbaring di atas ranjang. Ia takut membangunkan ayahnya. Tadi Zaki berkata bahwa ayah sudah tertidur setelah meminum obat dari dokter pribadinya yang Zaki panggil ke rumah. Bahkan ayah tak mengetahui kepergian Zaki ke rumahnya.

Duduk di samping ayah, ia meraih tangan ayah untuk ia genggam. Memperhatikan wajah ayah, Ardi sadar ia begitu mirip dengan beliau. Pantas saja, Ardi merasa mengenal ayah meski belum pernah bertemu.

Mata tua itu terbuka, Pak Ridwan tersenyum. Ia mengira bahwa yang ada di hadapannya merupakan bayangannya sendiri. Tak sekali dua kali, tapi ia cukup sering membayangkan Ardi tersenyum hangat padanya.

"Maaf, jika Ardi buat ayah bangun."

Pak Ridwan terbelalak. Ucapan pemuda di depannya begitu nyata. Ia juga merasakan genggaman tangan Ardi yang nyata. Ini kenyataan. Ardinya sekarang berada di sini.

"Ardi!"

Pak Ridwan tak bisa membendung air matanya. Ia mengelus wajah Ardi dengan sebelah tangannya yang bebas.

"Maafkan ayah, Ardi!" katanya sambil terisak.

"Kenapa ayah nggak jemput Ardi buat tinggal berdua?" tanya Ardi. Ia ikut terisak bersama sang ayah.

"Karena ayah takut kamu ndak bahagia tinggal sama ayah seperti ibumu."

Itulah ketakutan terbesar Pak Ridwan. Ia takut putranya seperti Lastri yang tak bahagia hidup bersamanya. Ia masih ingat perkataan Lastri malam itu yang menyebutnya lelaki tak berguna. Rasanya, sampai detik ini sakitnya masih membekas di hati. Pria itu terlalu takut menyakiti Ardi.

"Kalau bukan karena keegoisan ayah, maka kamu ndak akan hidup menderita. Maaf, Nak," raungnya penuh sesal.

Pak Ridwan sadar sepenuhnya, semua memang berawal dari keegoisannya untuk mendapatkan cinta Lastri. Jika saat itu ia tak memaksa Lastri untuk menikah dengannya, pasti tak akan ada Ardi yang ikut menanggung kesalahannya. Putranya yang malang ini harus hidup tanpa keluarga yang utuh.

"Ardi kira ayah juga benci sama Ardi seperti ibu," ungkap Ardi. Ia masih menggenggam tangan ayah.

"Ndak, Nak! Ndak! Ayah sangat sayang sama Ardi. Maaf, Nak. Maafkan ayah," elak Pak Ridwan seraya makin tergugu.

Sungguh, jika ia bisa mengatasi ketakutannya, pasti sekarang ia sudah hidup bahagia berdua bersama Ardi. Pria itu akan mengambil Ardi dari Lastri yang selalu menyisihkan putra mereka dari keluarganya. Ia tak pernah sekalipun mengira bahwa Ardi menunggunya. Pak Ridwan pikir, Ardi bahagia hidup bersama keluarga sang ibu.

Ardi menggeleng. "Semua sudah berlalu, Yah. Ayo, kita memulai hidup baru," pintanya.

Pak Ridwan meraih tubuh Ardi untuk ia peluk. Pria tua itu merasa senang akhirnya bisa memeluk putra yang hanya bisa ia lihat dari jauh selama ini.

Ardi pun tak kalah senangnya. Inikah pelukan dari ayah yang sangat ia rindukan. Demi Tuhan, terasa hangat dan nyaman sekali. Ardi merasa terlindungi dalam dekapan ayah kandungnya.

Keduanya berdiam diri. Hanya terdengar suara sesunggukan. Ayah dan anak itu saling berpelukan menguatkan. Mereka sama - sama terluka karena masa lalu yang tak sempurna. Untuk malam ini saja, biarlah mereka menangis sampai hati mereka lega. Mereka ingin melepaskan beban yang selama ini mereka tanggung.

Namun, Pak Ridwan berjanji, mulai besok ia dan putranya akan membuka lembaran baru tanpa ada tangisan kesedihan. Pria itu akan berusaha membuat putranya yang selama ini hidup penuh kesedihan dapat bahagia bersamanya.

Selimut  Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang