3 | Dia Berbeda

49 13 0
                                    



Selamat membaca

~

Kepadamu, sosok yang amat sangat dikagumi banyak wanita. Kamu seperti langit yang hanya bisa aku pandangi dari jauh, tanpa bisa aku gapai.

Laki-laki yang begitu terjaga, hingga untuk bermimpi bersanding denganmu saja rasanya tak pantas bagiku.

Kamu adalah salah satu keindahan yang seringkali aku temui. Kamu adalah apa yang membuatku bermimpi terlampau jauh, jauh sekali hingga aku malu mengakui hal ini.

Ya, aku malu mengakui bahwa aku mencintaimu.

Untuk itu, aku hanya berani mengutarakannya pada Rabb-ku, Sang Pemilik Cinta.

Kututup buku tulis bersampul coklat itu setelah membuat bait-bait puisi yang mungkin nanti jika aku baca dalam keadaan tidak sedang jatuh cinta, aku akan merasa geli.

Banyak sajak yang sudah aku tulis dan bahkan dibagikan di media sosial, tapi baru kali ini aku berani menuliskan tentang cinta. Mungkin setelah ini, akan banyak puisiku yang bertema cinta dalam diam, itu semua karena Azzam. Hebat sekali ya dia.

Kamar mandi menjadi tujuanku sekarang. Berwudhu sebelum tidur adalah salah satu hal yang sudah jadi rutinitasku, setelah itu kulanjut dengan membaca surah al-mulk.

Perlahan ku baca ayat demi ayat hingga selesai, lalu kubaringkan tubuhku di atas kasur dan menghadap kanan—posisi tidur yang sesuai dengan sunnah.

Baru saja terpejam beberapa saat, namun mataku kembali terjaga. Entah darimana datangnya, tiba-tiba saja otakku memikirkan tentang Azzam.

Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Sudah tidur kah dia? Atau masih terjaga dan memikirkan aku? Haah, kurasa yang terakhir itu tidak mungkin.

••

"Bang, agak dicepetin ya nyetirnya, bentar lagi telat nih," ucapku sembari mengunci helm yang sudah kupakai.

"Lagian tumben banget sih kesiangan!" omel Bang Ezra—kakakku yang bersikap dingin ke semua wanita, namun sangat cerewet dengan adiknya.

Aku tak menggubris omelannya dan langsung naik ke atas sepeda motor produksi Honda, yaitu New Honda Vario 125.  Kata Ayah, motor ini untuk kami berdua. Tapi lebih sering dikendarai oleh Bang Ezra untuk pergi kuliah. Aku mengalah saja, karena menurutku, Bang Ezra lebih membutuhkan motor itu.

Aku bukan anak orang kaya yang pergi sekolah memakai mobil dan ada supir pribadinya. Ayah hanya seorang supir ojek online, namun masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan bisa membiayai kebutuhan pendidikanku dan Bang Ezra, meskipun sebenarnya Bang Ezra juga sudah bekerja dan bisa membantu Ayah untuk membiayai kuliahnya sendiri.

Sekitar 10 menit lamanya, akhirnya sampai juga aku di sekolah. Namun tetap saja, gerbang sudah ditutup, walau kali ini lebih hemat waktu sebanyak 5 menit, biasanya aku memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke sekolah.

"Pak, tolong bukain gerbang," ucapku sedikit berteriak ke arah pos satpam. Bukan maksudku bertingkah tak sopan, tapi jika aku bicara dengan nada normal, sepertinya tak akan ada yang mendengar.

Ada Hati Yang Dipaksa MatiWhere stories live. Discover now