9 | Jabat Tangan

40 8 3
                                    



Semilir angin dari celah-celah kipas membelai kulit, menggerakkan sedikit kain yang saat ini masih bertengger di kepalaku. Sungguh alat ini telah berhasil menyingkirkan hawa panas dengan kesejukan.

Beberapa pakaian seperti kemeja dan jas osis, pakaian olahraga, juga kerudung hitam aku masukkan ke dalam tas yang biasa aku bawa ke sekolah. Tak lupa juga sepasang kaus kaki dan ciput ikut masuk ke dalam tasku.

Pelaksanaan one day training dimulai pada hari ini, yang berarti bahwa aku akan bermalam di sekolah. Padahal Satu jam yang lalu aku baru saja sampai di rumah, kini harus kembali ke sekolah lagi.

Ku gendong tas berwarna hitam itu dan mencari Bunda untuk meminta uang saku.

"Mau kemana kamu?" kepalaku sontak menghadap ke sumber suara, kudapati Bang Ezra yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Bunda mana?" alih-alih menjawab aku malah balik bertanya.

"Di belakang rumah."

Kulangkahkan kaki ke tempat yang Bang Ezra bilang tadi. Di hadapanku sudah ada wanita berkerudung coklat yang sedang sibuk mengurusi bunga-bunga kesukaannya, kudengar ia juga bersenandung kecil.

Dilahirkan dari rahim seorang wanita berhati lembut adalah hal yang sangat aku syukuri. Matanya yang teduh selalu dapat menyulap dingin menjadi hangat, risau menjadi tenang dan amarah menjadi lemah.

Ayah pernah berkata bahwa ia beruntung mendapatkan Bunda sebagai pendampingnya, hingga terkadang diam-diam aku memperhatikan Bunda dan mencontoh sikap dan perilakunya. Sebab sungguh, jika pun Bunda mendengar perkataan ayah, pasti hatinya senang sekali. Dan aku ingin merasakan hal itu.

"Bunda," panggilku. Yang dipanggil langsung menoleh.

"Kenapa, nak?"

"Haura mau nginep di sekolah, ada acara osis di sana," ucapku sembari mencium tangan Bunda.

Beberapa lembar uang Bunda keluarkan dari dompetnya lalu disodorkan ke arahku. Segera aku ambil alih dan memasukkannya ke dalam tas.

"Makasih Bunda, Haura berangkat ya," ucapku manja. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, jaga diri ya."

••

"Dengan ini, saya nyatakan acara one day training pertama di sekolah kita, dibuka."

Sambutan tepuk tangan terdengar kala kepala sekolah---yang saat itu menjadi pembina di upacara pembukaan ini--- selesai berbicara dan menutup pidatonya.

Setelah diberi penghormatan, kepala sekolah turun dari mimbar. Sang pemimpin lalu mengistirahatkan seluruh peserta dan dilanjut mendengar arahan dari Fauzan---sang ketua osis.

Aku berdiri di barisan para panitia ... ikut mendengar arahan Fauzan. Mataku tertuju pada para peserta, menyapu pandang kemudian berhenti pada satu orang. Sofia.

Dirinya menjadi objek yang saat ini ingin sekali aku amati. Matanya sedikit menyipit terkena panas sore, kulitnya yang kuning langsat khas wanita asia itu sedikit mengkilap karena keringat.

Gerangan apa yang membuat Sofia selalu aku perhatikan secara diam-diam? Aku berani berkata bahwa dia adalah anak baik-baik, tidak banyak tingkah dan lembut perangainya. Hanya saja, hatiku sedikit tak suka jika melihatnya bersama Azzam.

Meski aku tahu bahwa diriku tak berhak atas Azzam. Hatiku ini hanya sekedar mengaguminya dalam diam, perbuatan mulia namun sungguh menyiksa diri.

"Untuk laki-laki silahkan ke bagian barat menempati ruang kelas dua belas TSM 1, 2, dan 3. Dan untuk perempuan silahkan ke bagian timur menempati ruang kelas sebelas TKJ 1, 2, dan 3," interupsi Fauzan.

Ruang kelas yang Fauzan bilang adalah tempat untuk menaruh barang sekaligus tempat istirahat untuk para peserta.

"Silahkan beristirahat terlebih dahulu dan bersiap untuk sholat ashar berjamaah." lanjut Fauzan.

Seluruh orang kini sudah membubarkan diri dari barisan. Aku menuju ke mimbar pembina upacara yang berada tepat di depan ruang osis ... sekedar untuk duduk sebentar sembari menunggu azan.

Bukan cuma aku sendiri, tapi hampir seluruh anggota osis pun ikut duduk bersamaku.

"Hey, bro, gimana nih kabarnya?" cetus Raka--salah satu anggota osis, yang tadi berdiri tidak jauh dari tempatku---menyapa seorang alumni sekolah ini.

"Baik, bro, ada kegiatan apa?" ucapnya sambil menjabat tangan setiap orang yang berada di sini.

"One day training, kesini mau main aja atau ada perlu?" tanya Raka.

"Ada per--" ucapnya terhenti begitu aku tangkupkan kedua tanganku sediri saat hendak diajak berjabat tangan dengannya. "Oh, maaf ya."

Kubalas dengan senyuman, aku merasakan suasananya sekarang sudah berubah. Semua orang yang ada di sini pun tertuju ke arahku dan dia--alumni ini. Raka terlihat menahan tawa.

"Permisi ya, saya ke masjid duluan," ucapku kikuk.

"Sumpah malu banget gue jadinya, lo kenapa nggak bilang, Rak?"

Sempat kudengar gerutuannya, karena memang aku belum melangkah terlalu jauh.

Sebenarnya aku pun bukan maksud ingin membuatnya malu, tapi harus bagaimana lagi? Hukum Allah tidak akan gugur hanya karena merasa tidak enak hati.

~
Hai, Aku kembali lagi
Maaf sudah lama nggak update cerita ini. wkwwk

Sampai jumpa di bagian selanjutnya ...
Jangan lupa komen dan pencet bintangnya ya. 😊

Ada Hati Yang Dipaksa MatiOnde as histórias ganham vida. Descobre agora