5 | Memikirkanmu

38 15 0
                                    



Hatiku rasanya tak siap menerima kenyataan bahwa Azzam ternyata tidak ditakdirkan untukku, tapi hal itu justru menyakiti diriku sendiri.

Dalam hidupku, belum pernah aku temui sosok seperti Azzam, yang mampu membuatku jadi seperti ini. Hanya dia, dan ini mungkin akan jadi bagian luka yang terkenang indah.

Aku tahu bahwa ini salah. Seringkali aku menguatkan hatiku, mengatakan pada diriku sendiri bahwa menduakan Allah di hati hanya akan menambah perih, terlalu memaksa juga bukan hal yang baik. Tapi tetap saja, sedikit ada ketidakrelaan pada diriku kalau Azzam ternyata mencintai wanita selain aku.

Ingin ku sudahi saja, namun aku tak tahu cara mengakhirinya. Sedikit susah untuk ku hapus begitu saja, sebab dari awal kisah ini adalah tentang Azzam. Tentang bagaimana aku mencintainya dalam diam.

"Aku tersiksa," lirihku.

Ini memang sangat menyiksa. Kata orang, jatuh cinta itu penyakit, obatnya cuma ada satu, yaitu menikah.

Tapi pada usiaku saat itu yang masih tergolong pelajar, sepertinya bukan hal yang mungkin untuk menikah saat itu juga.

Berkali-kali aku harus berkata pada diriku sendiri bahwa ini adalah ujian. Allah ingin tahu seberapa kuat aku menahan godaan untuk tidak pacaran, seberapa kuat aku dalam menjauhi larangan-Nya. Dan hanya dengan mengingat itu, ketika rasa sedang membuncah setinggi-tingginya, dapat aku netralkan lagi, meskipun sedikit.

"Zam, memangnya kamu siapa sampai berani masuk dan terus ada dalam benakku?" ucapku bermonolog.

Aku terpejam, berharap pikiran tentang Azzam agar segera sirna. Namun ketukan pintu membuatku kembali membuka mata.

"Masuk aja," ucapku.

"Kenapa?" tanyaku setelah mengetahui Bang Ezra yang menampakkan setengah badan saja di pintu.

"Ngobrol yuk."

••

Halaman belakang rumah menjadi tujuan kami, luasnya hanya sekitar 3x2 meter. Kami tidur beralaskan rumput sembari menatap langit malam tanpa bintang. Sudah lima menit kami seperti ini, larut dalam keheningan. Sedang aku sedari tadi bertanya-tanya, sebenarnya abangku ini mau membicarakan apa?

Ku alihkan pandangan ke arah Bang Ezra yang masih setia menatap langit.

"Bang, ada apa?"

"Allah hebat banget ya, Ra, bisa nyiptain langit yang menggantung di atas tanpa tiang di bawahnya," ungkapnya.

Aku tahu bahwa bukan ini yang ingin Bang Ezra katakan. Sebab seringkali ia ingin mengatakan sesuatu namun diawali dengan membahas hal lain terlebih dahulu, singkatnya adalah banyak basa-basi.

"Iya, hebat banget. Udah gitu di atasnya langit ada langit lagi sampe lapis tujuh."

"Saking hebatnya Allah, bahkan hati manusia bisa Dia bolak-balikkan dengan mudah," ucapnya lagi. Aku hanya diam mendengarkan.

"Ra," panggilnya. Aku hanya berdehem. "Kalau tahun ini abang nikah, gimana?"

Mataku membulat, tubuhku langsung aku miringkan menghadap Bang Ezra. Sungguh hal ini mengejutkanku, sebab abangku ini tidak terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta ... namun tiba-tiba saja berkata ingin menikah.

"Abang mau nikahin cewek? Siapa? Kok nggak pernah cerita-cerita gitu ke aku!"

"Kamu nggak kenal! Abang emang nggak cerita ke kamu, tapi Abang ceritain ke Allah, perjuangin dia lewat doa," ujarnya.

Ucapan Bang Ezra mengingatkanku pada Azzam. Lebih tepatnya membuat otakku berpikir sesuatu yang tidak seharusnya aku pikirkan. Semacam, apa ada sosok wanita yang Azzam doakan secara diam-diam? Apa ada yang saat ini sedang Azzam dambakan untuk menjadi pendampingnya kelak?

Kalaupun ada, bolehkan aku merasa bahwa akulah orangnya?

Sayangnya, itu semua hanya ada dalam prasangka dan duga-dugaku saja. Hingga terkadang, hal itu justru menyakitiku. Aku terlukai pengharapanku yang terlampau jauh.

"Ayah sama Bunda, udah tau?" tanyaku.

"Besok rencananya mau bilang, Abang nyiapin kata-kata dulu biar enak."

Kami kembali diam, sedang ku lihat bibir Bang Ezra tersenyum malu-malu.

"Udah jangan mikirin itu cewek, dosa loh," tegurku.

"Siapa juga yang mikirin!" elak Bang Ezra.

"Itu tadi senyum-senyum."

Dengan tidak berperasaan, Bang Ezra malah memitingku, mendekap kepalaku dengan sebelah lengannya.

Aku memberengut kesal saat kepalaku berhasil lepas dari tangannya, merapihkan kerudungku yang posisinya sudah tidak seperti semula.

"Saltingnya kejam banget ih," dengusku.

"Maaf," ucapnya sambil menyeringai lebar. Aku masih berlagak kesal, tapi di sisi lain rasa ingin tahuku tentang siapa wanita yang ingin Bang Ezra nikahi ... sudah ingin meledak meminta jawaban.

"Jadi gimana awalnya?"

"Awal apaan?"

"Kenapa Bang Ezra bisa jatuh cinta sama wanita ini?"

Lagi-lagi Bang Ezra tersenyum simpul, kepalanya tertunduk. Mungkin malu, mungkin ia tidak ingin memperlihatkan ekspresi jatuh cintanya padaku.

"Abang juga nggak nyangka bisa ngerasa begini, semua terjadi secara tiba-tiba," ujarnya.

Aku cukup paham yang dikatakan Bang Ezra, sebab aku sendiripun merasakannya. Aku tahu, bahwa mungkin Bang Ezra sudah melewati fase perdebatan dengan hati. Berpikir bahwa semua rasa ini tidak nyata, mungkin hanya sekedar kagum karena dia berbeda dan ini bukan cinta. Tapi apakah cara wanita dan pria menyadari bahwa ia jatuh cinta itu sama?

Sebab yang aku jelaskan tadi memang benar terjadi padaku, tidak tahu dengan Bang Ezra.

"Jatuh cinta itu datangnya kayak petir, Bang, ngagetin!"

Bang Ezra tertawa mendengar ucapanku, kepalanya mengangguk seolah mengiyakan.

"Kamu tahu? Emang lagi jatuh cinta sama siapa?" tanyanya.

Aku mematung, bola mataku bergerak-gerak mencari alasan. Tak berlangsung lama, aku kembali menetralkan sikapku, takut nanti Bang Ezra berpikir yang tidak-tidak.

"Nggak ada cinta-cintaan! aku cuma jatuh cinta sama orang yang nantinya akan jadi suamiku," ucapku lantang. Namun batinku kembali bergumam, "Semoga itu Azzam."

~
B e r s a m b u n g

Diharapkan untuk tekan bintang di bawah setelah membaca. Terima kasih ☺️.

Ada Hati Yang Dipaksa MatiWhere stories live. Discover now