✧ Bab 4: Satu Persatu Mulai Pergi Meninggalkan.

987 164 33
                                    

Disarankan memutar lagu di multimedia;)

***

Terlalu lelah rasanya menggantungkan harap pada manusia yang bisa pergi kapan saja.

***

Sang waktu tak membiarkan Kasa berduka terlalu lama, tak juga berkenan berhenti barang sejenak dan memberi Kasa sedikit ruang untuk menyembuhkan diri. Kendati pergantian tiap detiknya terasa amat lamban, namun Kasa mampu membuktikan jika dirinya mampu bertahan hingga detik ini.

Hari ini, terhitung hari ketiga puluh tiga mama meninggalkan Kasa. Dan bersama bumi yang tak jera berotasi, di sinilah Kasa berdiri, di antara lautan manusia yang berkumpul di auditorium sekolahnya.

Hari ini, hari kelulusan. Setiap siswa yang datang nampak begitu antusias, menggandeng tangan ayah atau ibu masing-masing memasuki ruangan tempat mereka menanggalkan gelar siswa yang dipikul selama 12 tahun.

Di antara lautan manusia itu, Kasa mengedip lambat. Menatap puluhan pasang mata juga wajah lain yang nampak berseri.

Di antara lautan manusia itu, Kasa berdiri sendiri. Mencoba menghalau bulir air mata yang mencoba mendobrak pelupuknya. Menahan sesak yang menikam jantungnya.

Di antara lautan manusia itu, Kasa menghela napas dalam dengan rahang mengetat. Berusaha menimbun iri yang bergumul di dada saat memandangi siswa yang di dampingi orang tua, sementara dirinya tak punya siapa-siapa.

"Kasa!"

Mata sayu Kasa bergulir pelan ke arah sumber suara dan mendapati eksistensi Gio yang melangkah mendekat dengan Bang Aiden di sisinya.

Kasa menarik sudut bibirnya, membentuk senyum simpul yang menyambut kedatangan kakak-adik Kusumadinata itu.

"Lo udah lama dateng?" Gio bertanya setibanya di hadapan sang sahabat.

Kasa menggeleng pelan. "Belum kok," katanya, "kamu tumben dateng lama, Gi? Biasanya lebih pagi dari aku."

"Nih, oknum yang buat gue berangkat lama." Gio menunjuk Aiden dengan dagu. Raut yang biasanya datar itu kini nampak dongkol dengan bola mata yang berotasi malas. "Perkara dasi aja repotnya sekampung."

Si tersangka yang Gio maksud justru terkekeh pelan tanpa dosa, lantas merangkul sang adik yang rupanya masih kesal. "Ah elah, Gi, gue 'kan mau tampil sempurna di acara kelulusan lo. Lo udah berjuang 3 tahun buat sampe ke hari ini, ya kali gue datengnya petantang-petenteng kayak gembel."

"Alah, alasan," dengus Gio.

"Udah ah, ngga usah ngambek lagi, 'kan kita ngga jadi telatnya."

Mengesampingkan Gio dan Aiden yang masih sibuk berdebat, ada sosok Kasa yang menyimak perdebatan dua Kusumadinata itu dengan tatapan sayu dan senyum sendu. Ada bagian hatinya yang merasa hangat, namun ada juga bagian yang terasa nyeri.

Kapan ya kali terakhir ia bercengkerama dengan abangnya? 11 tahun? Atau bahkan 12 tahun yang lalu? Entahlah, Kasa juga tak ingat pastinya.

Kalau boleh jujur, memandangi betapa hangat tatap juga akrab rengkuhan Bang Aiden pada Gio membuat benak Kasa meraung iri. Ia juga ingin-kembali merasakan momen-momen hangat bersama abangnya. Ia ingin kepingan kisah yang tersisa di ingatannya terulang kembali. Tapi, apakah itu mungkin?

"Sa!" Gio mengguncang pundak Kasa, sukses membuat sang empu tersadar dari dunianya sendiri.

"Masih pagi udah melamun aja lo, Sa." Aiden menggeleng bersama senyum lebar di bibirnya. "Ngomong-ngomong, abang belum ngucapin selamat buat lo."

JUSTWhere stories live. Discover now