✧ Kepingan Masa Lalu 3: Rahasia Pembawa Luka.

1.3K 252 86
                                    

Ada janji yang terikrar, namun tak selalu bisa dipertahankan.

***

[⚠️ Mention of abortion ⚠️]

***

Brankar tersebut dipacu begitu cepat dengan tubuh kecil Kasa yang bersimbah darah di atasnya. Di sampingnya ada Biru yang melangkahkan tungkainya mengimbangi kecepatan gerak brankar itu. Tubuh yang pakaiannya dihiasi beberapa percikan noda darah itu kini bermandikan keringat, juga mata yang air di dalamnya sudah merembes deras.

"Adek tunggu di sini dulu, ya?" ujar salah satu perawat, menghentikan langkah Biru.

"T-tapi ... darahㅡkepala adekㅡ" Biru terbata-bata merangkai aksara dengan napas berkejaran.

"Adeknya bakal baik-baik aja, kamu tenang dulu, oke?" Perawat tadi memegangi bahu Biru dan mengusapnya beberapa kali, berusaha menenangkan kegundahan yang menerjang batin anak itu. "atur napas dulu ya, Dek."

Biru mengikuti perintah yang lebih tua. Dihelanya napas dalam beberapa kali guna menetralkan debaran jantungnya yang menggila.

"Dokter bakal berusaha nyelamatin adek kamu. Tugas kamu kamu jangan lupa berdoa sama Tuhan."

Setelah mengusap singkat pucuk kepala Biru, sang perawat kembali masuk ke ruang IGD lalu menutup pintu kaca buram itu.

Seketika itu juga, tubuh Biru meluruh ke lantai. Lututnya melemas karna tak lagi mampu menopang berat badannya. Dada Biru terasa sesak bukan main, ia tak mau berpikiran negatif, tapi semua hal yang ia takutkan berlomba-lomba berenang di pikirannya.

'Tuhan, tolong selamatkan adek.'

Kalimat tersebut Biru rapalkan berulang kali dalam hati.

"Adek, hapal nomor orang tuanya ngga? Kami perlu mengabari orang tua kalian."

Biru menoleh saat seorang perawat lain menepuk pundaknya.

Biru mengangguk cepat.

***

Ravi ingat betul bagaimana paniknya Biru saat menelponnya tadi.

'Adek kecelakaan.'

Demikian Biru berucap diiringi sesegukan yang terdengar begitu memilukan. Maka tanpa memikirkan hal apapun, Ravi meninggalkan semua kesibukannya. Tujuannya hanya satu. Rumah sakit.

Entah kenapa, tiap detik yang menjelma menjadi menit terasa begitu lama. Denting jam di dinding selayak nyanyian horor yang terdengar begitu menakutkan. Setelah sekian menit penanganan, Kasa akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Sayang, si kecil menggemaskan itu masih setia memejam, enggan menjemput kesadarannya.

"Papa ..."

Ravi menoleh laun sang sulung yang matanya nampak terisi penuh oleh ketakutan. "Apa, Bang?"

"Adek ... adek ngga papa 'kan?"

Kepala pria yang lebih tua mengangguk. "Adek ngga papa," katanya.

"Tapi kenapa belum bangun?"

"Adeknya masih capek, Bang. Kasih waktu untuk tidur dulu, ya?"

Biru mengangguk pelan, kemudian melangkah dan mendaratkan bokongnya pada kursi yang berada di samping sang adik.

"Adek jangan lama-lama tidurnya, abang ngga ada temen main."

Ravi lihat bagaimana tangan Biru terayun dan meraih jemari adiknya, memegangi dengan penuh hati-hati seakan takut menyakiti sosok yang tengah terlelap itu. Sejauh yang Ravi ingat, Biru bukanlah bocah cengeng yang mudah menangis. Namun, sekarang, Ravi dapat menangkap anakan sungai membanjiri pipi sulungnya.

JUSTWo Geschichten leben. Entdecke jetzt