✧ Bab 5: Angkasa yang Selalu Ditinggalkan.

959 142 19
                                    

Hakikatnya, Angkasa memang harus selalu tegar 'kan? Sekalipun selalu ditinggalkan.

***

Waktu yang berdetak tak pernah lelah menukar diri. Mengganti siang menjadi malam, juga detik menjadi menit. Tak terasa, sudah 10 bulan mama pergi meninggalkan Kasa seorang diri dengan tumpukan hutang yang menumpuk minta dilunasi.

Sepuluh bulan ini, Kasa hanya memikirkan bagaimana cara agar hutang mama lunas, supaya dirinya bisa lekas berjumpa dengan abangnya dan menyelesaikan kesalahpahaman yang ada. Sepuluh bulan ini, Kasa terlalu giat bekerja hingga mengabaikan kesehatannya. Bukan sekali dua kali ia tumbang. Bukan sekali dua kali juga Fajar mengoceh panjang lebar, menasehati Kasa agar sedikit lebih memperhatikan dirinya. Tapi, Kasa tetaplah Kasa yang keras kepala. Selagi ia masih bisa berdiri, Kasa tak mau absen untuk mencari pundi-pundi rupiah.

"Mas udah makan?"

"Udah," jawab Fajar. "Kamu makan aja."

Saat ini, Fajar tengah duduk berhadapan di meja makan reot milik Kasa. Dokter berumur penghujung kepala dua itu mengunjungi sang pemilik rumah, membawa serta beberapa kantong makanan sebab tau pemuda itu pasti lupa mengisi perutnya, lagi.

Kasa menggeleng kecil. "Tadi sebelum pulang udah makan sama pegawai lain," ucapnya sembari menuangkan air dari teko ke gelas.

Gerak kedua bola mata Fajar mengikuti ke mana Kasa berpindah dan melangkah. Ditatapnya pemuda yang kini tengah menenggak segelas air di genggamannya itu hingga tandas. "Ucapan kamu kemaren ... beneran?"

Kasa menaruh gelasnya ke tempat cuci piring, kemudian bergabung bersama Fajar di meja makan. "Ucapan yang mana? Kasa kebanyakan ngomong, jadi ngga tau yang mana satu." Senyum konyol terlukis di bibir Kasa.

"Kamu yakin mau nyusul abangmu, Sa?" Kedua mata Fajar menyorot gundah.

Kasa mengangguk mantap tanpa rasa ragu. "Iya, Mas. Lagian, masalah yang ada di sini juga udah beres. Hutang-hutang mama juga udah Kasa lunasin semua."

"Tapi, gimana sama kondisi kamu?" tanya sang dokter tampan. "mas ngga izinin kamu pergi. Sekarang tuh harusnya kamu fokus buat terapi kesembuhan kamu."

"Mas ngga izinin juga Kasa bakal tetap pergi kok." Kasa tersenyum sembari mengedikkan bahunya. "Mas tau Kasa."

"Kamu juga tau mas, Sa," kata pria berkemeja putih itu. Kedua sudut bibirnya tertarik, membalas senyum si lawan bicara.

Kasa sendiri menghela napas dalam bungkam. Ya, ia kenal betul dengan tabiat sosok yang dipanggilnya 'mas' ini. Jika Kasa kepala batu, maka Mas Fajar tidak jauh berbeda dengannya. Sebelas dua belas jika menyangkut keras kepala.

"Ayolah, Mas, izinin Kasa, ya? Toh, diem di sini juga ngga bakal bikin Kasa sembuh 'kan? Jadi, lebih baik Kasa ke ibu kota untuk meluruskan semua kesalahpahaman yang dulu terjadi," pinta Kasa.

"Ya tapi ngga bisa gini juga, Sa."

"Mas ..." Kasa menatap kedua tangannya yang bertaut di bawah meja, kemudian mengembalikan atensinya pada Fajar yang duduk di hadapannya. "Izinin Kasa nepatin janji Kasa sama mama. Kasa cuma takut, Kasa ngga bisa bertahan sebelum janji itu terlaksana."

Fajar terdiam, terfokus menatap sekembar netra karamel pemuda berusia 9 tahun di bawahnya itu. Di dalam sana, di antara mata lelah dengan lingkaran bawah mata yang menghitam itu tersirat sorot sendu.

"Lagian, mas ngga mau 'kan Kasa gentayangin karena ngga ngizinin Kasa pergi? Hih, apa ngga serem Kasa gentayangin? Mas ngga takut apa?" Kasa berusaha mencairkan suasana dengan berlelucon dan menakut-nakuti dokter muda itu. "ntar tidurnya mas ngga nyenyak, makannya ngga kenyang, mandinya ngga basah. Kayak rembo-nya Atok Dalang. Mas mau gitu?"

JUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang