Chapter 17 - Racun, Penawar, dan Pelindung

487 158 8
                                    

Aku mengerang bangun. Kepalaku pusing hingga membuat penglihatanku kabur. Aku menyadari ada sesuatu disumpal ke salah satu lubang hidungku.

"Singkat sekali waktu tidurmu, bocah."

Aku beranjak duduk dan melepas kain yang menyumpal hidungku. Kain itu basah oleh darah. Sepertinya aku pingsan setelah mimisan. Aku ingat kepalaku tiba-tiba diserang rasa sakit dan pusing yang luar biasa.

"Berapa lama aku pingsan?" tanyaku pada Cave yang sedang merakit sesuatu.

"Mungkin sepuluh menit."

Cave berhenti merakit lalu memberikan segelas air padaku.

"Eng ... anu ...."

"Apa? Panggil aku Cave saja."

"Cave, aku penasaran kenapa racun dari bisa ular itu tidak membunuh manusia dalam waktu singkat." Aku meletakkan gelas. "Biasanya bisa ular itu dapat membunuh manusia kurang dari waktu sejam."

"Oh? Jadi ular-ular di Bumi begitu, ya, bocah?" Cave mengambil gelasku lalu kembali merakit. "Sekali gigit, racun ular itu menyebar di dalam tubuh selama satu jam. Baru setelah itu efeknya muncul dan menyiksa manusia selama enam jam sampai mati."

Aku bergidik ngeri.

"Tapi beda cerita jika seseorang kena darah dari orang yang kena gigit. Racunnya menjadi lebih kuat setelah tercampur dengan darah. Oleh sebab itu orang yang kena darah yang sudah tercampur racunnya akan lebih cepat tumbang, walaupun racunnya hanya masuk melalui permukaan kulit.

"Masih untung aku berikan penawar sementara. Jika tidak, kau akan merasakan sakit yang lebih luar biasa."

Aku bergeming, menatap kakiku yang berselonjor. Pandangan yang masih sedikit kabur membuatku hampir tidak bisa melihat ujung jari kakiku dengan jelas.

Sedetik kemudian aku sadar, aku membuat teman-teman kesusahan memburu ular berkepala tiga. Sedangkan aku berbaring santai di sini.

Aku langsung berdiri dan memasang pakaianku yang masih basah serta mengambil pelontar petasan dan bambu runcing milikku. Dengan cepat aku memasang sepatu sebelum Cave mencegahku pergi.

"Hei, bocah alis aneh! Mau kemana kau!?" teriak Cave.

Aku tetap berlari menuju perkebunan karet tanpa menghiraukan teriakan Cave.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai ke perkebunan karet. Helen dan Alec terkapar tak sadarkan diri, sedangkan sisanya masih berusaha membunuh ular itu.

Teman-teman yang lain belum menyadari keberadaanku. Aku mengambil busur dan panah milik Helen, membantu dari jauh untuk membidik kepala ular.

"Sial ...."

Pandanganku masih kabur. Aku tidak bisa melihat jarak jauh. Tangan kiriku pun belum sanggup menahan busur untuk menarik anak panah dengan kencang.

Tidak ada pilihan lain. Aku juga harus bergabung ke sana.

"Evelyn!? Kenapa kamu di sini!?" seru Emily yang kaget melihatku. Karena lengah, kepala tengah ular itu menghantam tubuhnya.

"Emily!"

Aku berlari menghampiri. Sebelum aku sampai, ular itu menyerangku. Segera kuarahkan ujung bambu runcing yang tadi kubawa ke arah mulut kepala kirinya yang ingin menggigitku.

Aku menusukkan bambu ke pangkal tenggorokan mulut kepala kiri ular. Aku sedikit masuk ke dalam mulutnya.

Sial. Mulutnya sangat bau seperti aroma kaos kaki Hugo yang tidak pernah dicuci.

IsolatedWo Geschichten leben. Entdecke jetzt