zenit dan nadir

124 25 14
                                    

Bahkan sebelum mereka pacaran, Yoongi sudah kenal dengan kebiasaan Taehyung untuk berbicara dengan jujur saat malam datang menyapu dunia. Buktinya, kata-kata "aku cinta kamu" pertama Taehyung ucapkan pada malam hari, padahal saat itu mereka belum pacaran. Pria itu akan dengan mudahnya mengatakan apa saja yang ada di pikirannya, seakan diamnya malam hanya dapat diisi dengan kejujuran, seakan gelapnya malam dapat melahap habis rasa takutnya.

Sepertinya, setelah mereka putus pun, kebiasaan tersebut tidak berubah.

Suara Taehyung parau dari seberang sana saat ia bertanya, "Seandainya kita nggak putus, kamu mau adopsi anak berapa?"

Layar ponselnya menunjukkan angka 03.22. Entah ini terlalu larut, atau justru terlalu pagi. Yoongi mendesah, "Tae..."

"No, hyung. Please," bisik Taehyung. Dari irama nafasnya, Yoongi tahu bahwa mantan kekasihnya itu tengah menangis. "Let me have this."

Untuk sesaat Yoongi terdiam, sebelum ia mengambil nafas berat dan akhirnya, akhirnya, menjawab. "...Dua, mungkin?"

Dua. Karena dulu saat pacaran, di bawah rembulan dan di dalam rengkuhan Yoongi, Taehyung pernah berkata ia mau memiliki dua anak. Satu perempuan, satu laki-laki. Yoongi berjanji ia akan membiarkan Taehyung menamai anak mereka.

Tapi itu dulu sekali, saat segalanya masih baik-baik saja.

"Oke." Hati Yoongi serasa retak. Apa yang sedang Taehyung pikirkan? Mengapa bertanya hal seperti itu? Yoongi pun tahu bahwa pria itu tak mabuk. "Aku masih boleh menamakan mereka berdua, kan?"

"Boleh, meski kau buruk soal memberi nama."

"Taeguk dan Taekwon bukanlah nama yang buruk."

"Benar, yang itu tidak buruk."

"Tentu saja, aku sungguh-sungguh memikirkannya."

Hening. Seseorang mungkin tak dapat mendengar suara hati yang patah, namun mereka dapat merasakannya.

Taehyung sungguh-sungguh memikirkannya.

Taehyung sungguh-sungguh memikirkan kemungkinan sebuah masa depan dengan Yoongi.

Dan mereka putus.

Hanya Tuhan yang tahu betapa tajamnya kenyataan tersebut menusuknya. Yoongi membiarkan hatinya bergejolak sakit dalam detik-detik yang dilumuri sunyi. Ia tidak habis pikir, bagaimana dua insan yang saling menjanjikan satu sama lain masa depan mereka malah berakhir seperti ini—hancur, jauh dari satu sama lain.

Sejak kapan mereka berubah? Sejak kapan hubungan mereka mulai retak? When and how did it all go wrong? Bukankah pernah ada suatu masa dimana mereka dengan sempurna saling melengkapi? Bukankah pada setidaknya satu titik dalam hubungan mereka, baik Yoongi maupun Taehyung adalah definisi "bahagia" masing-masing?

Pertanyaan Taehyung tampaknya tak hanya sampai disitu. "Rumah macam apa yang hyung inginkan?"

Deru nafasnya terdengar dari seberang sini, lelaki bersurai coklat itu pasti tengah memposisikan ponselnya dekat dengan bibirnya. Yoongi secara refleks menempelkan kupingnya lebih dekat ke layar ponsel. Tidak ada gunanya baginya untuk menyangkal lebih lanjut—ia rindu kedekatan yang sempat ia miliki bersama Taehyung, dan posisi saat ini adalah posisi yang terasa "terdekat" bagi Yoongi. Right now is the closest they can ever be.

Saat Yoongi tidak menjawab, Taehyung melanjutkan. "Lampu macam apa yang ingin hyung gantung? Chandelier? Atau... Apa itu, lagi? Tipe wall-mounted... uplighting? Benar namanya itu? Kau suka itu juga, bukan?" Ia terdiam sesaat, sebelum tertawa kecil. "Hyung, bukankah ini cukup lucu, bagaimana kau begitu tergila-gila dengan lighting dan desain interior? Bila tugasku menamai anak-anak kita," nafas Taehyung tersengal, suaranya tercekat, sebelum ia berdeham dan berkata, "Tugasmu mendekorasi rumah. Kita memang ahli berbagi tugas, ya?"

Hanya suara Taehyung yang memenuhi senyap sunyi. "Oh, ya, hyung, lampu apartemen kita—ah, maaf, lampu apartemenku saat ini rusak. Berkedip terus, seperti kelilipan." Suara tawa yang Taehyung keluarkan begitu hambar. Hampa. "Hyung, bisakah kau-"

"Aku lowong hari Sabtu, mungkin agak siang," balas Yoongi, bahkan sebelum Taehyung sempat melanjutkan. Ia menatap lurus ke lampu apartemennya sendiri—lampu bertipe wall-mounted uplighting. Jika Taehyung masih berada di sampingnya saat ini, apakah lampunya saat ini akan berkedip juga? Tidak, bukan. Jika Taehyung masih berada di sampingnya, ia tidak akan perlu menelfon meminta bantuan Yoongi, karena lampu itu tidak akan pernah rusak di bawah pengawasannya.

Taehyung menarik nafas, tertawa kecil. "Benar-benar, padahal aku saja belum bilang apa-apa. Hyung, kau..."

Yoongi diam, menunggu Taehyung menyelesaikan kalimatnya, namun dari seberang layar, pria itu hanya menghela nafas dan menggeleng kepalanya pelan. Yoongi tidak akan pernah tahu kalau saat ini, pria itu tengah duduk dikelilingi remasan tisu, lamat-lamat menatap lampunya dengan mata yang berair, sama seperti Yoongi, mengingat masa-masa dimana mereka masih tinggal berdua, dimana yang lebih tua akan dengan lihai mengganti bohlam lampunya tanpa diminta.

"Terima kasih," ucapnya, akhirnya.

(Yoongi tahu betul bahwa kata-kata itu bukan kata-kata yang ingin Taehyung ucapkan.)

"Sampai ketemu hari Sabtu." 

Yoongi terdiam sesaat, berkontemplasi apa baiknya ia mengakhiri panggilan ini dengan sebuah 'selamat malam', namun ia menggeleng kecil dan menutup sambungan.

CIRCLES 、taegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang