datang namun tak kembali

126 25 19
                                    

! harsh language

Tangan Taehyung hangat dalam genggaman tangannya, sehangat linang air mata yang perlahan-lahan meluncur menjejaki wajahnya.

"Ini tidak adil untukmu," isak Taehyung.

Yoongi menatap Taehyung, dengan lembut mengusap bulir-bulir air matanya yang pelan-pelan berjatuhan. Gerakannya gesit meski hati-hati, bak burung yang akan langsung terbang saat didatangi, seakan-akan Yoongi tahu ia tidak boleh melewati batas, bahwa ia tidak boleh membiarkan sentuhannya tinggal terlalu lama. Bagi Taehyung, beberapa detik itu saja sudah cukup.

"Dan juga tidak adil untukmu," jawab Yoongi. Ia tidak mengelus tangan Taehyung dengan jemarinya, meski ia sangat-sangat tergoda untuk melakukannya. "Apa yang keparat itu lakukan kepadamu?"

Taehyung dengan cepat menggeleng dengan mata yang masih berlinang air mata. Ia menggenggam tangan Yoongi dengan lebih erat. Dari ujung matanya, Yoongi dapat melihat bagaimana mantan kekasihnya itu menggigit bibirnya kencang, sebuah tanda bahwa ia tidak siap berbicara. Jika Taehyung menginginkan keheningan saat ini, maka hal itu juga yang akan Yoongi berikan padanya. Keheningan, dan seorang teman yang akan menemaninya dalam keheningan tersebut.

(Sumpah, ia benar-benar orang yang lemah.

Taehyung menelfonnya pada jam sepuluh malam. Ia tetap mengangkat panggilan tersebut, meski ia tengah sibuk-sibuknya mengejar deadline. Hanya mendengar isakan Taehyung dari seberang sana saja sudah cukup untuk membuatnya menyambar jaketnya yang terkulai di lantai sambil mengutarakan sebuah 'aku kesana'.

And now here they are, duduk di lantai koridor apartemen Taehyung, pas di depan pintu masuk kamar apartemen yang dulu pernah mereka tinggali bersama.)

Yoongi menatap buket bunga yang terkulai di sebelah Taehyung. Orange blossoms, kesukaan Taehyung. Dalam hati, Yoongi bertanya-tanya mengapa Taehyung masih menyukai bunga itu sampai sekarang.

Di sampingnya, Taehyung terisak. "Jangan sebut Bogum-hyung seorang keparat," bisiknya parau.

"Dia membuatmu menangis," jawab Yoongi sederhana, seakan-akan hal tersebut saja merupakan alasan yang cukup untuk mencap seseorang sebagai "orang jahat" yang tak pantas di matanya.

Taehyung menggeleng. "Aku yang membuat diriku menangis. Dia tidak salah apa-apa."

Karena memang benar, Bogum tidak melakukan kesalahan sama sekali. Ia pria yang sempurna—tampan dan perhatian, juga orang yang ramah dan amat hangat. Ia lucu. Affectionate, tanpa rasa malu atau ragu memeluk ataupun memegang tangan Taehyung. Ia mempersiapkan kencan yang indah bagi Taehyung, mengajaknya makan di restoran yang mahal, lalu memberikannya buket bunga kesukaannya.

Buket bunga sama yang Yoongi berikan kepadanya saat mengajaknya pacaran dahulu.

Maka sungguh, bukan salah Bogum bila Taehyung menangis. Bukan salah Bogum, yang tak suka musik klasik dan tidak pandai bermain gitar, yang tidak kuat alkohol dan lebih menyukai teh daripada kopi. Bukan salah Bogum yang tidak pandai menjahit atau memperbaiki mebel. Bukan salah Bogum yang berbicara dengan manis, bukan dengan jujur.

Bukan salah Bogum bahwa ia berbanding terbalik dengan Yoongi. Bukan salah Bogum karena ia hanya menjadi dirinya sendiri, namun nahas, bukan Bogum orang yang Taehyung mau.

Bukan salah Bogum, bila orang yang akan Taehyung cari selalu Yoongi.

Semuanya salah Taehyung.

"Bagaimana kamu bisa membuat dirimu sendiri menangis, Tae? Apa dia mengajakmu menonton film sedih?"

Tae.

Nama panggilan sayang itu terdengar amat lembut saat diucapkan Yoongi. Sontak, mata mereka berdua bertemu. Dua pasang mata saling menatap, dua-duanya sama-sama terkejut. Seperti biasa, Yoongi memalingkan pandangannya terlebih dahulu. Beberapa detik kemudian, Taehyung mengikuti. Matanya sekarang memandang karpet lantai di bawah mereka.

"Aku menangis karena sakit," bisik Taehyung. "Kalau aku bilang begitu, akankah lebih masuk akal?"

Yoongi mendengus. "Tentu saja kamu akan sakit. Di luar sini dingin, pasti kamu masuk angin." Bukan sakit semacam itu yang Taehyung maksud. Pria itu hanya tersenyum lemah saat Yoongi dengan hati-hati membantunya berdiri. "Harusnya kamu menungguku di dalam apartemen."

"Aku tidak mau masuk," bisik Taehyung. "Sepertinya aku tidak akan kuat, hyung. Aku tidak bisa masuk, tidak saat aku tahu kau tidak akan berada di dalam, menungguku pulang. Akan terlalu sakit bagiku."

Yoongi tak perlu mengatakan apapun bagi Taehyung untuk melihat tanda tanya pada wajahnya. Pria itu tersenyum getir. "You won't get it. Aku minta maaf, tapi kau tidak akan mengerti, hyung."

Kata-kata Taehyung memang benar adanya. Yoongi tidak akan mengerti rasa sakit itu sebagaimana Taehyung mengertinya karena Yoongi yang pergi, pindah dari apartemen yang menyimpan banyak kenangan mereka berdua, apartemen yang sempat menjadi perwujudan kata "rumah" bagi mereka berdua. Bukan Yoongi yang tiap hari harus menempati apartemen itu, yang notabene merupakan pengingat perpetual akan cinta yang telah hilang di antara mereka berdua.

Yang lebih tua menghela nafas, sebelum sorot matanya melunak. Nadanya hati-hati saat ia bertanya, "Saat ini juga, kamu tidak siap? Meski dengan hyung di sampingmu?"

"Hyung, apa yang sedang hyung lakukan sekarang?" Taehyung tidak menatap Yoongi saat bertanya, matanya terpatri pada pintu di depannya. "Hyung sedang mengantarku pulang."

Nafas Yoongi tercekat. "Apa ada yang salah dengan hal itu?"

"Hal itu hanya memiliki satu arti. Tempat ini bukan rumah hyung lagi. Ini tempatku pulang, tapi tidak bagi hyung. Dan mengetahui kenyataan itu, entah kenapa amat menyakitkan bagiku," bisik Taehyung. Ia terkekeh kecil. "Hyung. Aku sakit semua, bagaimana ini?"

Yoongi tidak perlu melihat laki-laki itu untuk tahu bahwa ia tengah menahan nangis. Taehyung akan menangisi hal-hal kecil—film sedih, bunga indah yang tak sengaja terpijak, ikut menangis bersama Jimjn bila sahabatnya itu datang untuk curhat—namun ia bukan tipe yang akan menangisi dirinya sendiri atau hal-hal besar yang terjadi dalam
hidupnya. Taehyung tidak perlu menangis bagi Yoongi untuk menyadari bahwa mantan kekasihnya itu merasa amat sedih.

Ingin Yoongi berkata bahwa bangunan atau ruangan manapun tidak akan pernah menjadi rumah baginya, tidak dengan kehadiran Taehyung. Taehyung-lah "rumah"nya. Entah kenapa, mau mereka sudah putus atau belum, fakta tersebut satu hal yang tidak akan berubah.

Yoongi tidak mengatakan hal tersebut.

"Jadi kau masih tak mau masuk rumah. Lalu maumu bagaimana?" tanya Yoongi. Tidak galak, meski kata-katanya pendek dan terang-terangan. Tidak galak, tidak mungkin kalau kepada Taehyung. "Kamu mau menginap di rumah hyung saja malam ini?"

Taehyung mendongak dan mata mereka kembali bertemu, dan untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Taehyung tersenyum. Sebuah senyum yang tak dibuat-buat.

CIRCLES 、taegiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora